BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Tujuan
diturunkannya syariat oleh Allah kepada para rasul-Nya ialah untuk memperbaiki
umat di bidang akidah, ibadah dan mu’amalah. Tentang bidang ibadah dan
mu’amalah, prinsip dasar umumnya adalah sama, yaitu bertujuan membersihkan jiwa
dan memelihara keselamatan masyarakat serta mengikatnya dengan ikatan kerjasama
dan persaudaraan. Walaupun demikian, tuntutan kebutuhan setiap umat terkadang
berbeda satu dengan yang lain. Apa yang cocok untuk satu kaum pada suatu masa
mungkin tidak cocok lagi pada masa yang lain.
Di samping itu,
perjalanan dakwah pada taraf pertumbuhan dan pembentukan tidak sama dengan
perjalanannya sesudah memasuki era perkembangan dan pembangunan. Oleh karena
itu, wajarlah jika Allah menghapuskan suatu syariat dengan syariat lain untuk
menjaga kepentingan para hamba berdasarkan pada pengetahuan-Nya yang azali
tentang pertama dan yang kemudian.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa
pengertian dari Nasakh dan Mansukh dalam Al Quran ?
2.
Apa
pedoman mengetahui Nasakh dan manfaatnya ?
3.
Apa
saja macam-macam Naskh dalam Al Quran ?
4.
Sebutkan
beberapa contoh Nasakh !
C.
Tujuan Masalah
1.
Mengetahui
pengertian Nasakh dan Mansukh dalam Al Quran
2.
Mengetahui
bagaimana manfaat dan pedoman mengetahui Nasakh
3.
Mengetahui
macam-macam Nasakh dalam Al Quran
4.
Mengetahui
beberapa contoh Nasakh
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Nasakh dan Mansukh
1)
Pengertian Nasakh secara
Etimologi (Bahasa)
Terjadi
perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai makna nasakh secara etimologi.
Karena memang kata tersebut memiliki makna yang lébih dari satu. Nasakh dapat berarti
menghilangkan atau meniadakan. Dalam Al -Quran
menyatakan
...فينسخ الله مَايلقى
الشيطن ثُمَّ يحكم الله ايته,وَالله عَلِيْمٌ حَكِيْم.(52)
“Kemudian Allah
meniadakan atau menghilangkan apa yang dimasukkan oleh setan, lalu Allah
memperkuat ayat-ayat-Nya. Allah Maha Mengetahui dan Maha bijaksana.”(QS.Al-Hajj:
52).
Kata
nasakh juga berarti artinya pengalihan. Seperti pengalihan bagian harta
warisan. Maksudnya perpindahan harta warisan dan seseorang kepada orang
lain.Kata nasakh juga berarti mengganti atau menukar sesuatu dengan yang lain.Ini
dapat kita lihat pada ayat:
وَإِذَابَدَّلْنَــا
ايَةً مَّكَـان ايَةٍ....(1.1)
“Dan jika Kami gantikan sebuah ayat
dengan ayat yang lain....” (QS.Al-Nahl: 101)
2) Nasakh secara Terminologi (Istilah)
Secara
terminologi nasakh dapat dikategorikan pada dua kategori, yaitu kategori
menurut ulama Mutaqaddimin dan ulama Mutaakhirin.
a. Mutaqaddimin
Menurut ulama mutaqaddimin, nasakh adalah mengangkat
hukum syar‘i (menghapuskan) hukum syara’ dengan dalil hukum (kitab) syara’ yang
lain.Misalnya, dikeluarkannya hukum syar’i dengan berdasarkan kitab syara’dari
seseorang karena dia mati atau gila[1].
Contoh tentang waris, di mana hukum waris dinasakhkan oleh hukum wasiat ibu
bapak dan karib kerabat.Ayat tersebut dinasakhkan oleh Surah Al Baqarah ayat
180 yang berbunyi:
كُتِبَ
عَلَيْكُمْ إِذَاحَضَرَأَحَدَكُمُ الْمَوْتُ إِنْ تَرَكَ خَيْرًا الْوَصِيَّةُ لِلْوَالِدَيْنِ
وَالْاَقْرَبِيْنَ بِالْمَعْرُوْف. حَقا عَلــى الْمُتَّقِيْن
Ayat-ayat
seperti tersebut di atas kadang-kadang oleh ulama mutaqaddimin disebut juga
dengan takhsis. Dengan demikian tampak dengan gamblang bahwa ulama mutaqaddimin
memberikan batasan pengertian bahwa nasakh adalah sebagai dalil syar’ i yang
ditetapkan kemudian. Jadi tidak hanya bagi ketentuan hukum yang mencabut dan
membatalkan ketentuan (hukum) yang sudah berlaku sebelumnya atau merubah
ketentuan hukum yang sudah dinyatakan pertama berakhir masa berlakunya, sejauh
hukum tersebut tidak dinyatakan berlaku terus-menerus.[2]
Pengertian
nasakh menurut kelompok ini mencakup pengertian pembatasan (qayyad) terhadap
pengertian bebas (muta ‘allaq), pengkhususan terhadap yang umum, pengecualian,
syarat, dan sifat. ini berlaku mulai abad kesatu sampai abad ketiga Hijriah.
Ada
di antara mereka yang beranggapan bahwa suatu ketetapan hukum yang ditetapkan
oleh suatu kondisi tertentu telah menjadi mansukh apabila ada ketentuan lain
akibat adanya kondisi lain, misalnya”perintah bersabaruntuk menahan diri pada
periode Mekah di saat kaum muslim lemah dianggap telah nasakh ôléh perintah
atau izin berperang pada periode Madinah”, sebagaimana ayat yang beranggapan
bahwa ketetapan hukum Islam yang membatalkan hukum yang berlaku pada masa
pra-Islam merupakan bagian dan pengertian nasakh. Imam Zarqoni mengartikan : Mengangkat
(mengganti) hukum syara’ dengan dalil syara.[3]
b. Mutaakhirin
Pengertian
yang begitu luas kemudian dipersempit oleh ulama yang datang kemudian.
Pengertian nasakh menurut utma mutaakhirin di antaranya adalah sebagaimana
diungkapkan Quraish Shihab: “Nasakh terbatas pada ketentuan hukum yang datang
kemudian, guna membatalkan, mencabut atau menyatakan berakhirnya pemberlakuan
hukum yang terdahulu, hingga ketentuan hukum yang ada yang ditetapkan
terakhir”.
3)
Pengertian Mansukh
Mansukh adalah
suatu hukum yang diangkat atau yang dihapuskan. Maka ayat mawarits (warisan)
atau hukum yang terkandung di dalamnya, misalnya menghapuskan (Nasakh) hukum
wasiat kepada kedua orang tua atau kerabat (mansukh) sebagaiman akan
dijelaskan.
Syarat-syarat
Nasakh sebagai berikut :
·
Hukum
yang mansukh adalah hukum syara’.
·
Dalil
penghapusan hukum tersebut adalah kitab syar’ i yang tentang lebih kemudian
dari kitab yang hukumnya mansukh.
·
Kitab
yang mansukh hukumnya tidak dibatasi dengan waktu tertentu.
B.
Hal-hal yang Mengalami Nasakh
Nasakh
hanya terjadi pada hal-hal yang bersifat perintah dan larangan, baik yang
diungkapkan dengan tegas dan jelas maupun yang diungkapkan dengan kalimat
khabar (berita) yang bermakna amr(perintah) atau nahy (larangan), jika hal
tersebut tidak berhubungan dengan persoalan akidah, yang berhubungan dengan
Dzat Allah, sifat-sifatNya, kitab-kitabNya, para rasulNya dan hari kemudian,
juga tidak berkaitan dengan etika dan akhlak atau dengan pokok-pokok ibadah dan
muamalah. Hal ini karena semua syariat Ilahi tidak lepas dari pokok-pokok
tersebut. Dalam masalah prinsip semua syariat adalah sama.[4]
Allah berfirman,
شَرَعَ لَكُمْ مِنَ الدِّيْنِ مَا وَصّبِي بِه نُوْحًا وَالَّذِيْ أَوْحَيْنا إِلَيْكَ وَمَا
وَصَّيْنَا بِه إِبْرَاهِيْمَ وَمُوْسَي وَعِيْسي أَنْ أَقِيْمُوْاالدِّيْنَ وَلَا
تَتَفَرَّقُوْا فِيْــه
“Dia telah mensyariatkan
bagi kamu tentang agama apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang
telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa, Isa, yaitu : Tegakkanlah agama dan
jaganlah kamu berpecah belah tentangnya.” (As Syura: 13)
C.
Dasar-dasar Penetapan Nasakh, Mansukh dan Manfaatnya
Pengetahuan
tenatng nasakh dan mansukh mempunyai fungsi dan manfaat besar bagi para ulama,
terutama para fuqoha’, musafir, dan ahli ushul fiqh, agar pengetahuan tentang
hukum tidak menjadi kabur. Oleh sebab itu, terdapat atsar yang mendorong agar
mengetahui masalah ini. Seperti yang diriwayatkan, Ali pada suatu hari melewati
seorang hakim lalu bertanya:”apakah kamu mengetahui nasakh dari
mansukh?”tidak,”jawab hakim itu. Maka kata Ali,”celakalah kamu dan kamupun akan
mencelakakan orang lain.
Manna’
Al Qaththan menetapkan tiga dasar untuk menegaskan bahwa suatu ayat dikatakan
nasikh dan mansukh,ketiga dasar tersebut adalah:
1.
Melalui
pentransmisian yang jelas (an-naql ash-sharih) dari Nabi atau para sahabatnya,
seperti hadist yang berbunyi,
كُنْتُ نَهَيْتُكُم عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُوْرِ أَلَا فَزُوْرُوهَا
(Aku dulu melarang kalian untuk berziarah kubur, (sekarang)
berziarahlah).
2.
Melalui
kesepakatan umat (ijma’) bahwa ayat ini nasikh dan ayat itu mansukh.
3.
Melalui
studi sejarah, ayat mana yang lebih belakang turun, sehingga disebut nasikh,
dan ayat mana yang lebih dahulu turun, sehingga disebut mansukh.
Nasakh tidak dapat ditetapkan
berdasarkan pada ijtihad, pendapat mufassir atau kontradiksi dalil-dalil secara
lahiriah, atau terlambatnya keislaman salah seorang dari seorang perawi.
D.
Pendapat tentang Nasakh dan Dalil Ketetapannya
Dalam masalah
nasakh, para ulama terbagi atas empat golongan[5],
yakni:
1)
Orang
Yahudi. Mereka tidak mengakui adanya Naskh, karena menurutnya, naskh mengandung
al-bada’, yakni nampak jelas setelah kabur (tidak jelas). Maksudnya adalah
naskh itu adakalanya tanpa hikmah, dan ini mustahil bagi Allah. Dan adakalanya
karena sesuatu hikmah yang sebelumnya tidak tampak. Ini berarti terdapat suatu
kejelasan yang didahului oleh ketidakjelasan. Dan inipun mustahil bagi-Nya.
Cara berdalil mereka tidak dapat dibenarkan, sebab masing-masing hikmah nasikh
dan mansukh telah diketahui Allah lebih dahulu. Jadi pengetahuan-Nya tentang
hikmah tersebut bukan hal yang baru muncul. Ia membawa hamba-hamba-Nya dari
satu hukum ke hukum yang lain adalah karena suatu maslahat yang telah
diketahui-Nya jauh sebelum itu, sesuai dengan hikmah dan kekuasaan-Nya yang
absolut terhadap segala milik-Nya.
2)
Orang
Syi’ah Rafidah. Mereka sangat berlebihan dalam menetapkan naskh dan
meluaskannya. Mereka memandang konsep al-bada’ sebagai suatu hal yang mungkin
terjadi pada Allah. Dengan demikian, maka posisi mereka sangat kontradiksi
dengan orang yahudi. Untuk mendukung pendapatnya itu mereka mengajukan
argumentasi denag ucapan-ucapan yang mereka nisbahkan kepada Ali r.a secara
dusta dan palsu.
3)
Abu
Muslim Al-Asfahani. Menurutnya, secara logika naskh dapat saja terjadi, tetapi
tidak mungkin terjadi menurut syara’. Dikatakan pula bahwa ia menolak
sepenuhnya terjadi naskh dalam Al Quran berdasarkan firman-Nya:
لَايَأْتِيْهِ الْبَاطِلُ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَلَامِنْ خَلْفِهِ تَنْزِيْلٌ
مِّنْ حَكِيْمٍ حَمِيْدٍ (42)
“Yang tidak dating kepadanya (Quran) kebatilan baik dari depan
maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari sisi Tuhan Yang Maha Bijaksana
lagi Maha Terpuji.”(Fussilat : 42)
4)
Jumhur
Ulama. Mereka berpendapat, naskh adalah suatu hal yang dapat diterima akal dan
telah terjadi dalam hukum-hukum syara’, berdasarkan dalili-dalil :
a.
Perbuatan-perbuatan
Allah tidak bergantung pada alas an dan tujuan. Ia boleh saja memerintahkan
sesuatu pada suatu waktu dan melarangnya pada waktu yang lain. Karena hanya
Dialah yang lebih mengetahui kepentingan hamba-hamba-Nya.
b.
Nas-nas
Kitab dan Sunnah menunjukkan kebolehan naskh dan terjadinya, antar a lain :
·
Firman
Allah :
وَإِذَابَدَّلْنا ايَةً مَّكَانَ ايَةٍ...
“Dan apabila Kami mengganti suatu ayat di tempat ayat yang
lain…”(An Nahl : 101)
مَا نَنْسَخْ مِنْ ايَةٍ أَوْنُنْسِهَا نَأْتِ بِخَيْرٍمِّنْهَا أَوْمِثْلِهَا..
“Apa saja ayat yang Kami nasakhkan, atau kami jadikan (manusia)
lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik atau yang sebanding
dengannya.”(Al Baqarah : 106)
·
Dalam
sebuah hadist sahih, dari Ibnu Abbas r.a., Umar r.a., berkata : “Yang paling
paham dan menguasai Quran di antara kami adalah Ubai. Namun demikian kamipun
meninggalkan sebagian perkataannya, karena ia mengatakan : “Aku tidak akan
meninggalkan sedikitpun segala apa yang pernah aku dengar dari Rasulullah s.a.w.,
padahal Allah telah berfirman :” Apa saja ayat yang Kami nasakhkan, atau kami
jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik atau yang
sebanding dengannya.”(Al Baqarah : 106)
E.
Pembagian Nasakh dalam Al Quran
1)
Nasakh
Al Quran dengan Al Quran bagian ini disepakati kebolehannya dan telah terjadi
dalam pandangan mereka yang mengatakn adanya nasakh. Misalnya ayat tentang
iddah 4 bulan 10 hari.
2)
Nasakh
Al Quran dengan As Sunnah, nasakh ini ada 2 macam, yakni:
a.
Nasakh
Al Quran dengan hadist ahad. Jumhur ulama berpendapat bahwa Al Quran tidak
boleh di nasakh oleh hadist ahad, sebab Al Quran adalah mutawattir dan
menunjukkan keyakinan, sedang hadits ahad ini dzanni (bersifat dugaan),
disamping tidak sah pula menghapuskan sesuatu yang maklum (jelas diketahui)
denganyang maznun(di duga).
b.
Nasakh
Al Quran dengan hadits mutawattir nasakh semacam ini dibolehkan oleh Imam
Malik, Abu Hanifah dan Imam Ahmad dalm satu riwayat sebab masing-masing
keduanya dalah wahyu. Allah berfirman:
وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوى. إِنْ هُوَ إِلّاوَحْيٌ يُّوْحي (النجم:
3-4)
“Dan tiadalah yang diucapkan itu menurut kemauan hawa nafsu.
Ucapannya itu tiada lain adalah wahyu yang di
wahyukan(kepadanya).”(An-Najm:3-4)
3)
Nasakh
As Sunnah dengan Al Quran, ini dibolehkan oleh jumhur ulama sebagai contoh
ialah masalah mengahadap ke Baitul Maqdis yang di tetapkan dengan As Sunnah dan
di dalam Al Quran tidak terdapat dalil yang menunjukkannya. Ketetapan ini
dinasakhkan oleh Al Quran dengan firmannya:”Maka palingkanlah muka kamu kea rah
masjidil haram.(Al Baqoroh :144)
4)
Nasakh
Sunnah dengan Sunnah, dalam kategori ini terdapat 4 bentuk, yakni:
a.
Nasakh
mutawattir dengan mutawattir
b.
Nasakh
ahad dengan ahad
c.
Nasakh
ahad dengan mutawattir
d.
Nasakh
mutawattir dengan ahad
Tiga bentuk
pertama diperbolehkan, sedang pada bentuk ke 4 terjadi silang pendapat seperti
halnya nasakh Al Quran dengan hadist ahad yang tidak dibolehkan jumhur Ulama.[6]
F.
Macam-macam Nasakh dalam Al Quran
Nasakh dalam Al
Quran ada tiga, yakni:
1.
Nasakh
bacaan dan hukum. Misalnya apa yang diriwayatkan oleh Imam Muslimdan yang lain,
dari Aisyah R.A, ia berkata “ Di antara yang diturunkan pada beliau adalah
bahwa sepuluh susunan yang diketahui itu menyebabkan pemahraman, kemudian di
nasakh oleh lima susunan yang diketahui. Ketika Rasulullah SAW wafat,lima
susunan ini termasuk ayat Al Quran yang dibaca. “Ucapan Aisyah R.A” Lima
susunan ini termasuk ayat Al Quran yang dibaca secara dhohir menunjukkan bahwa
bacaannya masih tetap ada. Tetapi tidak demikian halnya, karena ia tik terdapat
dalam mushaf utsmani. Ksimpulan ini dijawab, bahwa yang dimaksud dengan
perkataan Aisyah R.A, tersebut ialah ketika beliau menjelang wafat.
2.
Nasakh
hukum, sedang tilawahnya tetap. Misalnya nasakh hukum ayat iddah selama satu
tahun, sedang tilawahnya tetap. Mengenai nasakh macam ini banyak dikarang
kitab-kitab yang didalamnya para pengarang menyebutkan bermacam-macam ayat.
Padahal setelah diteliti, ayat-ayat seperti itu hanya sedikit jumlahnya,
sebagaimana dijelaskan Qadi Abu Bakar ibnul ‘Arabi.
3.
Nasakh
tilawah sedang hukumnya tetap. Untuk macam ini mereka mengemukakan sejumlah
contoh, diantaranya rejam ini: Orang tua laki-laki dan perempuan apabila
keduanya berzina, maka rejamlah keduanya itu dengan pasti sebagai siksaan dari
Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi maha Bijaksana.
G.
Hikmah Keberadaan Nasikh
1.
Menjaga
kemaslahatan hamba.
2.
Mengembangkan
persyariatan hukum sampai pada tingkat kesempurnaan, seiring dengan
perkembangan dakwah dan kondisi manusia itu sendiri.
3.
Menguji
kualitas keimanan mukallaf dengan cara
adanya suruhan yang kemudian dihapus.
4.
Merupakan
kebaikan dan kemudahan bagi umat. Apabila ketentuan nasikh lebih berat daripada
ketentuan mansukh, berarti mengandung konsekuensi pertambahan pahala.
Sebaiknya, jika ketentuan dalam nasikh lebih mudah daripada ketentuan mansukh,
itu berarti kemudahan bagi umat.
H.
Contoh-Contoh Naskh
As
Suyuti menyebutkan dalam al Itqan sebanyak 21 ayat yang dipandangnya sebagai
ayat-ayat mansukh.
§ Firman Allah :
وَلِلهِ مَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ فَأيْنَمَا تُوَلُّوْافَثَمَّ وَجْهُ
اللهِ...
“Dan kepunyaan Allahlah timur dan barat, maka kemanapun kamu
menghadap di situlah wajah Allah.”(Al Baqarah : 115) di nasakh oleh:
فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَالْمَسْجِدِالْحَرَامِ...
“Maka palingkanlah mukamu kea rah Masjidil Haram.”(Al Baqarah :
144)
Telah
dikatakan inilah ayat yang benar, bahwa ayat pertama tidak di nasakh sebab ia
berkenaan dengan shalat sunnah saat dalam perjalanan yang dilakukan di atas
kendaraan, juga dalam keadaan takut dan darurat. Dengan demikian, hukum ayat
ini tetap berlaku, sebagaimana dijelaskan dalam as-Sahihain. Sedang ayat kedua
berkenaan dengan shalat fardu lima waktu. Dan yang benar, ayat kedua ini
menasakh perintah menghadap ke Baitul Maqdis yang ditetapkan dalam sunnah.[7]
§ Firman Allah :
كُتِبَ عَلَيْكُمْ إِذَاحَضَرَأَحَدَكُمُ الْمَوْتُ إِنْ تَرَكَ خَيْرًا
الْوَصِيَّةُ لِلْوَالِدَيْنِ وَالْأقْرَبِيْنَ..
“Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan
(tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk
ibu-bapak dan karib kerabatnya….”(Al Baqarah :180). Dikatakan, ayat ini mansukh
oleh ayat tentang kewarisan dan oleh hadis, “ Sesungguhnya Allah telah
memberikan kepada setiap orang yang mempunyai hak akan haknya, maka tidak ada
wasiat bagi ahli waris.”
§ Firman Allah :
وَالَّذِيْنَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَ رُوْنَ أَزْوَاجًاوَّصِيَّةً
لِأَزْوَاجِهِمْ مَّتَاعًا إِلَى اْلحَوْلِ غَيْرَإِخْرَاجٍ
“Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kamu dan
meniggalkan istri, hendaklah berwasiat untuk istri-istrinya, (yaitu) diberi
nafkah hingga setahun lamanya denagn tidak disuruh pindah (dari rumahnya)…”(Al
Baqarah : 240) Ayat ini dinasakh oleh :
وَالَّذِيْنَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَ رُوْنَ أَزْوَاجًايَتَرَبَّصْنَ
بِأَنْفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍوَعَشْرًا
“Dan orang-orang yang meninggal dunia di antara kamu dengan
meninggalkan istri-istri (hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya
(ber’iddah) empat bulan sepuluh hari.” (Al Baqarah : 234).
Ada
yang berpendapat, ayat pertama muhkam, sebab ia berkaitan dengan pemberian
wasiat bagi istri jika istri itu tidak keluar dari rumah suami dan tidak kawin
lagi. Sedang ayat kedua berkenaan dengan masalah ‘iddah. Dengan demikian maka
tidak ada pertentangan antara ayat itu.[8]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Ø Nasakh adalah sesuatu yang membatalkan, menghapuskan atau
memindahkan.
Ø Mansukh adalah yang dibatalkan, dihapus, dipindahkan
Ø Para ulama sepakat adanya nasikh berdasarkan nash Al Qur’an dan
sunnah
Ø Syari’at selalu memelihara kemaslahatan ummat, oleh karena itu
nasikh itu mesti ada dan terjadi pada
sebagian hokum – hokum.
Ø Nasikh itu terjadi pada berita – berita, tetapi terjadi pada hukum
– hukum yang berhubungan dengan halal dan haram
Ø Hukum – hukum itu bersumber dari Allah yang disyari’atkan demi kemaslahatan
dan kebahagiaan manusia’
Ø Menyimpang dari jalan yang lurus dan mengikuti jejak orang – orang
yang sesat akan menjadi penyebab kesengsaraan.
B.
Saran
Kepada para mahasiswa khusunya jurusan Ekonomi Syari’ah
yang menbaca dengan adanya makalah ini bisa mengetahui
bagaimana ayat-ayat nasakh dan mansukh dalam Al Quran.
DAFTAR PUSTAKA
Al
Qattan, Manna’ Khalil. 2004. Studi Ilmu-Ilmu Al Quran. Bogor : Pustaka Litera
AntarNusa.
Al
Qattan, Manna’ Khalil. 2006. Pengantar Studi Ilmu Al Quran. Jakarta Timur :
Pustaka Al Kautsar.
Chirzin, Muhammad. 2006. Al Quran dan Ulumul Quran. Bandung : PT
Pustaka Jaya.
Anwar, Rosihan. 2004. Ulumul Quran. Bandung : CV Pustaka Setia.
Anwar, Abu. 1999. ULUMUL QUR’AN, Bandung : Pustaka Prima.
[1]
Drs.Muhammad
Chirzin , M.Ag, AL QUR’AN DAN ULUMUL QUR’AN, (Bandung : PT Pustaka Jaya, 2006)
[2]
Drs.Muhammad
Chirzin , M.Ag, AL QUR’AN DAN ULUMUL QUR’AN,(Bandung : PT Pustaka Jaya, 2006)
hlm.78.
[3]
Drs.Abu
Anwar , M.Ag, ULUMUL QUR’AN, (Bandung : Pustaka Prima, 1999) hlm.63.
[4]
Manna’ Khalil Al Qattan. Pengantar Studi Ilmu Al Quran. (Jakarta
Timur : Pustaka Al Kautsar, 2006) hlm. 286-287.
[5]
Manna’ Khalil Al Qattan. Studi Ilmu-Ilmu Al Quran. (Bogor : Pustaka
Litera AntarNusa, 2004) hlm. 330-333.
[6]
Manna’
Khalil Al Qattan. Pengantar Studi Ilmu Al Quran. (Jakarta Timur : Pustaka Al
Kautsar, 2006) hlm. 292-293.
[7]
Manna’
Khalil Al Qattan. Studi Ilmu-Ilmu Al Quran. (Bogor : Pustaka Litera AntarNusa,
2004) hlm. 344.
[8]
Manna’
Khalil Al Qattan. Studi Ilmu-Ilmu Al Quran. (Bogor : Pustaka Litera AntarNusa,
2004) hlm. 347.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar