Rabu, 28 Mei 2014

Ayat-ayat & Hadits Wadi'ah



A.      Pengertian Wadi’ah
a.           Secara Etimologi
Secara etimologi wadi’ah ( الودعة) berartikan titipan (amanah). Kata Al-wadi’ah berasal dari kata wada’a (wada’a – yada’u – wad’aan) juga berarti membiarkan atau meninggalkan sesuatu.[1] Sehingga secara sederhana wadi’ah adalah sesuatu yang dititipkan.
     b.    Secara Terminology

            Secara terminology atau definisi istilah menurut mazhab Hanafi, Maliki dan Hambali.       Ada dua definisi wadi’ah yang dikemukakan ulama fiqh:
    Ulama mazhab hanafi mendefinisikannya:
تسليط الغير على حفظ ماله صريحا أ و دلا لة
    “mengikutsertakan orang lain dalam memelihara harta, baik dengan   uangkapan yang jelas maupun melalui isyarat”.[2]
Umpama seseorang mengatakan: “saya titipkan tas saya ini pada anda”. Lalu dijawab “saya terima”. Dengan demikian, sempurnalah akad wadi’ah. Mungkin juga dengan cara: “saya titipak tas saya ini pada anda” tetapi orang yang dititipi diam saja (tanda setuju). Mazhab Syafi’i, Maliki dan Hambali (jumhur ulama) mendefinisikannya:
تو كيل في حفظ مملوك على وجه مخصوص
“mewakilkan orang lain untuk memelihara harta tertentu dengan cara tertentu”.[3]
c.     Menurut istilah wadi’ah dapat diartikan sebagai akad yang dilakukan oleh kedua belah pihak orang yang menitipkan barang kepada orang lain agar dijaga dengan baik.
d.    Di dalam ensiklopedi hokum islam mengenai wadi’ah secara bahasa  bisa dimaknai meninggalkan atau meletakkan, yaitu meninggalkan atau meletakkan sesuatu kepada orang lain untuk menjaganya dengan baik. Sedangkan menurut istilah ialah memberikan kekuasaan sepenuhnya kepada orang lain untuk menjaga barangnya dengan cara terang-tengan kepada si pemilik barang tersebut.

B.       Hukum dan Dalil Wadi’ah   
Asal dari Al-wadi’ah itu adalah boleh, bagi manusia yang dibebankan dalam memelihara milik orang lain harus bisa menjamin dalam menjaganya. Ulama fikih sependapat, bahwa wadi’ah adalah sebagai salah satu akad dalam rangka tolong menolong antara sesama manusia. Sebagai landasannya firman Allah SWT.:
إن الله يأمروكم أن تؤدواالامانات إلى أهلها.....الخ
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil…” [4]
     Dalam firman di atas dijelaskan bahwa amanah harus disampaikan pada orang yang berhak menerima amanah tersebut misalnya amanah yang diberikan pada orang-orang yang dapat dipercaya dan dalam pemberian amanah tersebut harus dilakukan secara adil.
Para fukaha sepakat bahwa al-wadî’ah itu merupakan akad amanah. Status al-wadî’ adalah yad al-amânah. Karena itu, jika harta wadi’ah itu hilang, rusak atau lainnya, al-wadî’ tidak bertanggung jawab dan tidak menanggungnya kecuali jika itu karena kesengajaannya atau ia lalai menjaganya. Jadi status al-wadî’ itu bukanlah yad adh-dhamânah. Ini merupakan ketentuan mendasar wadi’ah. Amru bin Syuaib meriwayatkan dari bapaknya dari kakeknya, Nabi SAW. bersabda:
مَنِ اسْتُودِعَ وَدِيعَةً فَلاَ ضَمَانَ عَلَيْهِ
Siapa yang dititipi wadi’ah maka tidak ada tanggungan atasnya (HR al-Baihaqi).
Hanya saja, harus diingat, amanah itu hanyalah amanah untuk menyimpan dan menjaga wadi’ah itu; tidak termasuk di dalamnya hak untuk men-tasharruf-nya. Sebagai seorang amîn,al-wadî’ haram mengkhianati amanah wadi’ah itu. Khianat terhadap amanah wadi’ah itu bisa dalam bentuk: tanpa izin al-mûdi’, al-wadî’ mencampurkan harta wadi’ah itu dengan hartanya sendiri atau harta orang lain, atau men-tasharruf-nya seperti menggunakannya atau bentuk tasharruf lainnya, atau lalai tidak menjaganya, atau sengaja merusak atau menghilangkannya, dan sebagainya.[5]
اد الأمانة االى من ائتمنك ولا تخن من خنك (رواه أبو داود والتر ميذى والحاكم)
“Hendaklah amanat orang yang mempercayai anda dan janganlah anda menghianati orang yang menghianati anda.” (HR. Abu Daud, Tirmidzi dan Hakim).[6]
Hadits di atas menjelaskan bahwa orang yang diberi amanah harus bisa menjaga amanah tersebut dengan baik dan jangan sampai menghianati orang yang telah memberikan amanah.
Dari ayat-ayat dan hadits-hadits diatas, para ulama sepakat mengatakan, akad wadi’ah (titipan) hukumnya mandub (disunatkan), dalam hal tolong-menolong sesama manusia. Oleh sebab itu Ibnu Qudamah (ahli fikir mazhab Hanafi) menyatakan bahwa sejak zaman Rasulullah sampai generasi ke gerasi berikutnya, wadi’ah telah menjadi ijma’ ‘amali (الا جماع العملى), yaitu telah menjadi ke perilaku kebiasaan dengan menitipkan barang kepada orang lain.


C.    Syarat Orang yang Melakukan Akad Wadi’ah
ومن أهل الكتب من إن تأمنه بقنطار يؤدهى إليك ومنهم من إنتأمنه بدينار لا يؤدهى إليك إلا ما دمت عليه قائما ۗ ذلك بأنهم قالوا ليس علينا فى الأمين سبيل ويقولون على الله الكذب وهم يعلمون

Di antara ahli Kitab ada orang yang jika kamu mempercayakan kepadanya harta yang banyak, dikembalikannya kepadamu, dan di antara mereka ada orang yang jika kamu mempercayakan kepadanya satu dinar, tidak dikembalikannya kepadamu jika kamu selalu menagihnya. Yang demikian itu lantaran mereka mengatakan“Tidak ada dosa bagi kami terhadap orang-orang ummi(buta huruf).[7] Mereka berkata dusta terhadap Allah, padahal mereka mengetahui.”
Dalam ayat ini Allah SWT. menerangkan keadaan Ahli Kitab dalam hal amanah dan khianat pada harta, setelah menyebutkan khianatnya mereka dalam agama, maka yang mereka lakukan dan sikap mereka menyembunyikan kebenaran. Jika mereka tidak berkhianat terhadap harta yang banyak, maka terhadap harta yang sedikit tentu lebih tidak berkhianat lagi. Yakni karena sifat khianatnya terhadap harta yang sedikit saja berani berkhianat apalagi terhadap harta yang banyak. Pernyataan ini merupakan anggapan halal dari mereka terhadap harta orang-orang Arab atau anggapan halal dari mereka yang berbuat zhalim kepada orang-orang yang tidak seagama dengan mereka. Mereka melihat rendah kepada orang-orang selain mereka, dan memandang besar diri mereka, oleh karena itu mereka menganggap bahwa orang-orang ummi tidak perlu dihargai dan dihormati. Mereka menggabung antara memakan harta yang haram dan meyakini sebagai sesuatu yang halal, mereka menyandarkan anggapan itu kepada Allah SWT., padahal berdusta terhadap Allah lebih besar dosanya dibanding berkata tentang Allah tanpa ilmu. [8]

عن أبى هريرة قال قال النبي صلى الله عليه وسلم أَدِّ الْأَمَانَةَ إِلَى مَنِ ائْتَمَنَكَ وَلَا تَخُنْ مَنْ خَانَكَ .....
Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW. bersabda, “Sampaikanlah (tunaikanlah) amanat kepada yang berhak menerimanya dan jangan membalas khianat kepada orang yang telah mengkhianatimu.” (HR Abu Daud, At-Trimidzi, Ahmad, Al-Hakim, Al-Baihaqi)[9]
Kesimpulan yang dapat di ambil dari ayat dan hadits di atas adalah apabila seseorang hendak melakukan transaksi penitipan harta, maka ayat tersebut menekankan beberapa ketentuan yaitu, pertama pilihlah orang yang dapat dipercaya saat menitipkan harta sehingga orang yang dipercaya tersebut dapat lebih amanah. Kedua, jika perjanjian sudah disepakati, maka diwajibkan bagi kedua belah pihak untuk bertaqwa dengan jalan tidak saling merugikan. Selain itu, janganlah membalas berkhianat kepada orang yang telah mengkhianatimu baik pada orang yang memberikan amanah maupun yang menerima amanah.
·         Wajibnya al-wadî’ menjaga wadi’ah yang ada padanya seperti ia menjaga hartanya sendiri. Nabi SAW. bersabda:
عَلَى الْيَدِ مَا أَخَذَتْ حَتَّى تُؤَدِّىَ
Tangan itu wajib (menjaga) apa yang ia ambil sampai ia tunaikan (HR. Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibn Majah, Ahmad, al-Hakim, al-Baihaqi) [10]
·         Penerima Wadi’ah (al-Wadi’) wajib segera menyerahkan harta Wadi’ah begitu diminta oleh pemiliknya (al-Mudi’), seperti yang telah dijelaskan dalam Q.S. Al-Baqarah: 283, di bawah ini:

وَإِنْ كُنْتُمْ عَلَى سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُوا كَاتِبًا فَرِهَانٌ مَقْبُوضَةٌ فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُمْ بَعْضًا فَلْيُؤَدِّ الَّذِي اؤْتُمِنَ أَمَانَتَهُ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ وَلا تَكْتُمُوا الشَّهَادَةَ وَمَنْ يَكْتُمْهَا فَإِنَّهُ آثِمٌ قَلْبُهُ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ
“Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang).[11] Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.

ü  Hendaklah menjadi dalil firman Allah pada surat Al Baqarah (283) (فَرِهَانٌ مَّقْبُوضَةٌ) "Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang)", yaitu, bahwasanya bila terjadi perselisihan antara pihak penggadai dengan pihak yang memiliki piutang tentang jumlah hutang yang diambil dengan barang jaminan, maka yang diterima perkataannya adalah orang yang memiliki piutang yaitu pemilik hak, karena Allah menjadikan barang jaminan sebagai bukti yang kuat, karena bila tidak diterima perkataannya dalam hal itu, niscaya bukti itu tidak akan ada, karena tidak ada pencatatan dan saksi-saksi.
ü  Bahwasanya boleh bermuamalah tanpa ada pencatatan (dokumentasi) maupun saksi-saksi atas dasar firman Allah ta'ala , (فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُم بَعْضًا فَلْيُؤَدِّ الَّذِي اؤْتُمِنَ أَمَانَتَهُ): "Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya)". Namun dalam kondisi yang seperti ini dibutuhkan sifat ketakwaan dan takut kepada Allah. Karena jika tidak demikian, maka pemilik hak dalam posisi dapat dirugikan dalam haknya. Karena itu dalam kondisi seperti ini Allah memerintahkan orang yang menanggung hak orang lain untuk bertakwa kepada Allah dan menunaikan amnat yang ditanggungnya.
ü  Bahwasanya orang yang mempercayai orang yang bermuamalah dengannya, maka sesungguhnya ia telah melakukan kebaikan yang besar terhadapnya dan ia ridha terhadap agamanya dan amanahnya, sehingga orang yang menanggung hak orang lain memiliki kewajiban yang semakin kuat untuk menunaikan amanah itu dari dua sisi; pertama, penunaian hak Allah dan pelaksanaan perintah-perintahNya, dan kedua, pemenuhan hak temannya yang telah meridhai amanahnya dan mempercayai dirinya.
ü  Haram menyembunyikan persaksian dan bahwa orang yang melakukan itu hatinya benar-benar telah berdosa yang merupakan raja dari seluruh anggota tubuh. Hal itu dikarenakan menyembunyikan hal tersebut adalah seperti persaksian dengan yang batil dan dusta, yang mengakibatkan hilangnya hak-hak, rusaknya muamalah, dan dosa yang berulang-ulang bagi orang tersebut dan orang yang menanggung hak orang lain tersebut.[12]



[1] Mahmud Yunus. Kamus Arab-Indonesia.(Jakarta: Hidakarya Agung, 2005) Hal. 495
[2] Abdul Rahman Al Jaziri. 2005. Kitab al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al’Arba’ah. Jilid 1 Darul Fikr Riyadh. Hal. 182
[3] Nasrun Haroen. Fiqh Muammalah. (Jakarta: Gaya Media Pratama,2007) Hal. 244-245
[4]  Al Qur’an. Surat An Nisa ayat: 58
[5] http://hizbut-tahrir.or.id/2012/03/05/wadi%E2%80%99ah/ oleh Yahya Abdurrahman
[6]  Ibnu Hajar Al Asqalani. Bulughul Maram. Jeddah. Hal. 182
[7] Yang mereka maksud dengan orang-orang ummi dalam ayat ini adalah orang Arab.
[8] http://www.tafsir.web.id/2013/01/tafsir-ali-imran-ayat-75-83.html
[9] Menurut Tirmidzi hadits ini hasan, sedang Imam Hakim mengaktegorikannya sahih, dalam Muhammad Syafi’I Antonio, Bank Syari’ah dari Teori ke Praktik (Jakarta: Gema Insani Press, 2001) hlm.86
[10] http://hizbut-tahrir.or.id/2012/03/05/wadi%E2%80%99ah/ oleh Yahya Abdurrahman
[11] Barang tanggungan (borg) itu diadakan bila satu sama lain tidak percaya mempercayai
[12] Tafsir as-Sa’di oleh Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di dalam http://www.alsofwah.or.id/cetakquran.php?id=243

1 komentar: