A.
Pengertian Wadi’ah
a.
Secara Etimologi
Secara
etimologi wadi’ah ( الودعة) berartikan titipan
(amanah). Kata Al-wadi’ah berasal dari kata wada’a (wada’a – yada’u –
wad’aan) juga berarti membiarkan atau meninggalkan sesuatu.[1]
Sehingga secara sederhana wadi’ah adalah sesuatu yang dititipkan.
b. Secara Terminology
Secara terminology atau definisi istilah
menurut mazhab Hanafi, Maliki dan Hambali. Ada dua definisi wadi’ah yang dikemukakan ulama
fiqh:
Ulama mazhab hanafi mendefinisikannya:
تسليط الغير على حفظ
ماله صريحا أ و دلا لة
“mengikutsertakan orang lain dalam memelihara harta, baik dengan uangkapan yang jelas maupun melalui
isyarat”.[2]
Umpama seseorang mengatakan: “saya titipkan tas
saya ini pada anda”. Lalu dijawab “saya terima”. Dengan demikian, sempurnalah
akad wadi’ah. Mungkin juga dengan cara: “saya titipak tas saya ini pada
anda” tetapi orang yang dititipi diam saja (tanda setuju). Mazhab Syafi’i, Maliki
dan Hambali (jumhur ulama) mendefinisikannya:
تو كيل في حفظ مملوك
على وجه مخصوص
“mewakilkan orang lain untuk memelihara harta
tertentu dengan cara tertentu”.[3]
c. Menurut istilah wadi’ah dapat
diartikan sebagai akad yang dilakukan oleh kedua belah pihak orang yang
menitipkan barang kepada orang lain agar dijaga dengan baik.
d. Di dalam ensiklopedi hokum islam mengenai wadi’ah
secara bahasa bisa dimaknai meninggalkan
atau meletakkan, yaitu meninggalkan atau meletakkan sesuatu kepada orang lain
untuk menjaganya dengan baik. Sedangkan menurut istilah ialah memberikan
kekuasaan sepenuhnya kepada orang lain untuk menjaga barangnya dengan cara
terang-tengan kepada si pemilik barang tersebut.
B.
Hukum dan
Dalil Wadi’ah
Asal dari Al-wadi’ah
itu adalah boleh, bagi manusia yang dibebankan dalam memelihara milik orang
lain harus bisa menjamin dalam menjaganya. Ulama fikih sependapat, bahwa
wadi’ah adalah sebagai salah satu akad dalam rangka tolong menolong antara
sesama manusia. Sebagai landasannya firman Allah SWT.:
إن الله
يأمروكم أن تؤدواالامانات إلى أهلها.....الخ
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang
berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara
manusia supaya kamu menetapkan dengan adil…” [4]
Dalam firman di atas
dijelaskan bahwa amanah harus disampaikan pada orang yang berhak menerima
amanah tersebut misalnya amanah yang diberikan pada orang-orang yang dapat
dipercaya dan dalam pemberian amanah tersebut harus dilakukan secara adil.
Para fukaha sepakat bahwa al-wadî’ah itu
merupakan akad amanah. Status al-wadî’ adalah yad al-amânah.
Karena itu, jika harta wadi’ah itu hilang, rusak atau lainnya, al-wadî’
tidak bertanggung jawab dan tidak menanggungnya kecuali jika itu karena kesengajaannya
atau ia lalai menjaganya. Jadi status al-wadî’ itu bukanlah yad
adh-dhamânah. Ini merupakan ketentuan mendasar wadi’ah. Amru bin
Syuaib meriwayatkan dari bapaknya dari kakeknya, Nabi SAW. bersabda:
مَنِ اسْتُودِعَ وَدِيعَةً فَلاَ ضَمَانَ عَلَيْهِ
Siapa yang
dititipi wadi’ah maka tidak ada tanggungan atasnya (HR
al-Baihaqi).
Hanya saja, harus diingat, amanah itu hanyalah
amanah untuk menyimpan dan menjaga wadi’ah itu; tidak termasuk di
dalamnya hak untuk men-tasharruf-nya. Sebagai seorang amîn,al-wadî’
haram mengkhianati amanah wadi’ah itu. Khianat terhadap amanah wadi’ah
itu bisa dalam bentuk: tanpa izin al-mûdi’, al-wadî’ mencampurkan harta wadi’ah
itu dengan hartanya sendiri atau harta orang lain, atau men-tasharruf-nya
seperti menggunakannya atau bentuk tasharruf lainnya, atau lalai tidak
menjaganya, atau sengaja merusak atau menghilangkannya, dan sebagainya.[5]
اد الأمانة االى من
ائتمنك ولا تخن من خنك (رواه أبو داود والتر ميذى والحاكم)
“Hendaklah amanat orang yang mempercayai
anda dan janganlah anda menghianati orang yang menghianati anda.” (HR. Abu
Daud, Tirmidzi dan Hakim).[6]
Hadits di atas
menjelaskan bahwa orang yang diberi amanah harus bisa menjaga amanah tersebut
dengan baik dan jangan sampai menghianati orang yang telah memberikan amanah.
Dari ayat-ayat dan hadits-hadits diatas, para
ulama sepakat mengatakan, akad wadi’ah (titipan) hukumnya mandub (disunatkan), dalam hal tolong-menolong
sesama manusia.
Oleh sebab itu Ibnu Qudamah (ahli fikir mazhab Hanafi) menyatakan bahwa sejak
zaman Rasulullah sampai generasi ke gerasi berikutnya, wadi’ah telah menjadi ijma’ ‘amali (الا جماع العملى), yaitu
telah menjadi ke perilaku kebiasaan dengan menitipkan barang kepada orang lain.
C.
Syarat Orang yang Melakukan Akad Wadi’ah
ومن أهل الكتب من إن تأمنه
بقنطار يؤدهى إليك ومنهم من إنتأمنه بدينار لا يؤدهى إليك إلا ما دمت عليه قائما ۗ ذلك بأنهم
قالوا ليس علينا فى الأمين سبيل ويقولون على الله الكذب وهم يعلمون
Di antara ahli Kitab ada
orang yang jika kamu mempercayakan kepadanya harta yang banyak, dikembalikannya
kepadamu, dan di antara mereka ada orang yang jika kamu mempercayakan kepadanya
satu dinar, tidak dikembalikannya kepadamu jika kamu selalu menagihnya. Yang
demikian itu lantaran mereka mengatakan“Tidak ada dosa bagi kami terhadap
orang-orang ummi(buta huruf).[7] Mereka berkata dusta terhadap Allah, padahal mereka mengetahui.”
Dalam ayat ini Allah SWT. menerangkan
keadaan Ahli Kitab dalam hal amanah dan khianat pada harta, setelah menyebutkan
khianatnya mereka dalam agama, maka yang mereka lakukan dan sikap mereka
menyembunyikan kebenaran. Jika
mereka tidak berkhianat terhadap harta yang banyak, maka terhadap harta yang
sedikit tentu lebih tidak berkhianat lagi. Yakni karena sifat khianatnya
terhadap harta yang sedikit saja berani berkhianat apalagi terhadap harta yang
banyak. Pernyataan ini merupakan anggapan halal dari mereka
terhadap harta orang-orang Arab atau anggapan halal dari mereka yang berbuat
zhalim kepada orang-orang yang tidak seagama dengan mereka. Mereka melihat rendah kepada
orang-orang selain mereka, dan memandang besar diri mereka, oleh karena itu
mereka menganggap bahwa orang-orang ummi tidak perlu dihargai dan dihormati.
Mereka menggabung antara memakan harta yang haram dan meyakini sebagai sesuatu
yang halal, mereka menyandarkan anggapan itu kepada Allah SWT., padahal
berdusta terhadap Allah lebih besar dosanya dibanding berkata tentang Allah
tanpa ilmu. [8]
عن أبى هريرة قال قال النبي صلى الله عليه وسلم أَدِّ الْأَمَانَةَ إِلَى مَنِ
ائْتَمَنَكَ وَلَا تَخُنْ مَنْ خَانَكَ .....
Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW. bersabda,
“Sampaikanlah (tunaikanlah) amanat kepada yang berhak menerimanya dan jangan
membalas khianat kepada orang yang telah mengkhianatimu.” (HR Abu Daud,
At-Trimidzi, Ahmad, Al-Hakim, Al-Baihaqi)[9]
Kesimpulan
yang dapat di ambil dari ayat dan hadits di atas adalah apabila seseorang
hendak melakukan transaksi penitipan harta, maka ayat tersebut menekankan
beberapa ketentuan yaitu, pertama pilihlah orang yang dapat dipercaya
saat menitipkan harta sehingga orang yang dipercaya tersebut dapat lebih
amanah. Kedua, jika perjanjian sudah disepakati, maka diwajibkan bagi
kedua belah pihak untuk bertaqwa dengan jalan tidak saling merugikan. Selain
itu, janganlah membalas berkhianat kepada orang yang telah mengkhianatimu baik
pada orang yang memberikan amanah maupun yang menerima amanah.
·
Wajibnya al-wadî’ menjaga wadi’ah
yang ada padanya seperti ia menjaga hartanya sendiri. Nabi SAW. bersabda:
عَلَى
الْيَدِ مَا أَخَذَتْ حَتَّى تُؤَدِّىَ
Tangan itu
wajib (menjaga) apa yang ia ambil sampai ia tunaikan (HR. Abu Dawud,
at-Tirmidzi, Ibn Majah, Ahmad, al-Hakim, al-Baihaqi) [10]
·
Penerima Wadi’ah (al-Wadi’) wajib segera menyerahkan harta Wadi’ah begitu
diminta oleh pemiliknya (al-Mudi’), seperti yang telah dijelaskan dalam Q.S.
Al-Baqarah: 283, di bawah ini:
وَإِنْ كُنْتُمْ
عَلَى سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُوا كَاتِبًا فَرِهَانٌ مَقْبُوضَةٌ فَإِنْ أَمِنَ
بَعْضُكُمْ بَعْضًا فَلْيُؤَدِّ الَّذِي اؤْتُمِنَ أَمَانَتَهُ وَلْيَتَّقِ
اللَّهَ رَبَّهُ وَلا تَكْتُمُوا الشَّهَادَةَ وَمَنْ يَكْتُمْهَا فَإِنَّهُ آثِمٌ
قَلْبُهُ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ
“Jika kamu dalam perjalanan (dan
bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis,
maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang).[11]
Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah
yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa
kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan
persaksian. Dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah
orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.
ü Hendaklah menjadi dalil
firman Allah pada surat Al Baqarah (283) (فَرِهَانٌ
مَّقْبُوضَةٌ) "Maka hendaklah ada
barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang)", yaitu,
bahwasanya bila terjadi perselisihan antara pihak penggadai dengan pihak yang
memiliki piutang tentang jumlah hutang yang diambil dengan barang jaminan, maka
yang diterima perkataannya adalah orang yang memiliki piutang yaitu pemilik
hak, karena Allah menjadikan barang jaminan sebagai bukti yang kuat, karena
bila tidak diterima perkataannya dalam hal itu, niscaya bukti itu tidak akan
ada, karena tidak ada pencatatan dan saksi-saksi.
ü Bahwasanya boleh
bermuamalah tanpa ada pencatatan (dokumentasi) maupun saksi-saksi atas dasar
firman Allah ta'ala , (فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُم بَعْضًا فَلْيُؤَدِّ الَّذِي
اؤْتُمِنَ أَمَانَتَهُ): "Akan tetapi jika
sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai
itu menunaikan amanatnya (hutangnya)". Namun dalam kondisi yang seperti ini dibutuhkan
sifat ketakwaan dan takut kepada Allah. Karena jika tidak demikian, maka
pemilik hak dalam posisi dapat dirugikan dalam haknya. Karena itu dalam kondisi
seperti ini Allah memerintahkan orang yang menanggung hak orang lain untuk
bertakwa kepada Allah dan menunaikan amnat yang ditanggungnya.
ü Bahwasanya orang yang
mempercayai orang yang bermuamalah dengannya, maka sesungguhnya ia telah
melakukan kebaikan yang besar terhadapnya dan ia ridha terhadap agamanya dan
amanahnya, sehingga orang yang menanggung hak orang lain memiliki kewajiban
yang semakin kuat untuk menunaikan amanah itu dari dua sisi; pertama,
penunaian hak Allah dan pelaksanaan perintah-perintahNya, dan kedua,
pemenuhan hak temannya yang telah meridhai amanahnya dan mempercayai dirinya.
ü Haram
menyembunyikan persaksian dan bahwa orang yang melakukan itu hatinya
benar-benar telah berdosa yang merupakan raja dari seluruh anggota tubuh. Hal
itu dikarenakan menyembunyikan hal tersebut adalah seperti persaksian dengan
yang batil dan dusta, yang mengakibatkan hilangnya hak-hak, rusaknya muamalah,
dan dosa yang berulang-ulang bagi orang tersebut dan orang yang menanggung hak
orang lain tersebut.[12]
[1] Mahmud Yunus. Kamus Arab-Indonesia.(Jakarta: Hidakarya
Agung, 2005) Hal. 495
[2] Abdul Rahman Al Jaziri. 2005. Kitab al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al’Arba’ah.
Jilid 1 Darul Fikr Riyadh. Hal. 182
[3] Nasrun Haroen. Fiqh Muammalah. (Jakarta: Gaya Media
Pratama,2007) Hal. 244-245
[4] Al Qur’an.
Surat An Nisa ayat: 58
[5] http://hizbut-tahrir.or.id/2012/03/05/wadi%E2%80%99ah/
oleh Yahya Abdurrahman
[6] Ibnu Hajar Al
Asqalani. Bulughul Maram. Jeddah. Hal. 182
[7]
Yang mereka maksud dengan orang-orang ummi dalam ayat ini adalah orang Arab.
[8] http://www.tafsir.web.id/2013/01/tafsir-ali-imran-ayat-75-83.html
[9]
Menurut Tirmidzi hadits ini hasan, sedang Imam Hakim mengaktegorikannya sahih,
dalam Muhammad Syafi’I Antonio, Bank Syari’ah dari Teori ke Praktik (Jakarta:
Gema Insani Press, 2001) hlm.86
[10] http://hizbut-tahrir.or.id/2012/03/05/wadi%E2%80%99ah/
oleh Yahya Abdurrahman
[11] Barang
tanggungan (borg) itu diadakan bila satu sama lain tidak percaya mempercayai
[12]
Tafsir as-Sa’di oleh Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di dalam http://www.alsofwah.or.id/cetakquran.php?id=243
Terimakasih sangat membantu buat referensi
BalasHapus