Selasa, 20 Mei 2014

Nilai Tukar Uang dalam Perspektif Islam

 

Nilai Tukar Uang dalam Islam


BAB I

PENDAHULUAN

1.1.  Latar Belakang



Salah satu hal yang menandai pergerakan meluasnya globalisasi adalah semakin bebasnya pasar dunia, hambatan perdagangan mulai berkurang dan semakin tidakberarti. Transaksi melewati batas negara merupakan hal yang relatif mudah dan bukanhal yang luar biasa. Sehingga volume perdagangan internasional pun semakin meningkat.

Seiring dengan meningkatnya perdagangan internasional, meningkat pula penggunaan valuta asing. Nilai tukar valuta asing selalu berubah-ubah. Banyak hal yang mempengaruhi perubahan tersebut, misalnya tingkat inflasi, tingkat pendapatan masyarakat, suku bunga, kontrol pemerintah atas perekonomian, termasuk harapan atau perkiraan masyarakat mengenai kondisi-kondisi perekonomian di masa yang akan datang juga turut mempengaruhi perubahan dalam nilai tukar mata uang.[1]

Dengan melihat latar belakang di atas, dalam makalah ini, penyusun akan membahas tentang nilai tukar baik yang konvensional maupun Islam.

1.2.  Rumusan Masalah

1.    Apa yang dimaksud dengan nilai tukar uang?

2.    Bagaimana teori nilai tukar konvensional?

3.    Bagaimana teori nilai tukar dalam Islam?

4.    Bagaimanakah sejarah perkembangan nilai tukar uang di Indonesia?



1.3.  Tujuan Masalah

1.    Mengetahui dan memahami definisi dari nilai tukar baik secara konvensional maupun Islam.

2.    Mengetahui bagaimana sejarah perkembangan nilai tukar uang di Indonesia.

BAB II

PEMBAHASAN

2.1.Nilai Tukar

2.1.1. Definisi Nilai Tukar

Definisi niilai tukar atau kurs (foreign exchange rate) antara lain dikemukakan oleh Abimanyu adalah harga mata uang suatu negara relative terhadap mata uang negara lain.[2] Karena nilai tukar ini mencakup dua mata uang, maka titik keseimbangannya ditentukan oleh sisi penawaran dan permintaan dari kedua mata uang tersebut.

Pengertian lain dari nilai tukar ditulis oleh Olivier Blanchard dalam bukunya ”Macroeconomics” adalah :

Nominal exchange rate as the price of the domestic currency in term of foreign currency”.[3]

Frank J. Fabozzi dan Franco Modigliani memberikan defenisi mengenai nilai tukar sebagai berikut:

An exchange rate is defined as the amount of one currency that can be exchanged per unit of another currency, or the price of one currency in terms of another currency”.[4]

Dapat disimpulkan dari beberapa definisi diatas bahwa nilai tukar adalah sejumlah uang dari suatu mata uang tertentu yang dapat dipertukarkan dengan satu unit mata uang negara lain.

2.1.2. Cara Menyatakan Nilai Tukar

Menurut Abimanyu, ada dua cara untuk menyatakan nilai tukar, yaitu:

a.              Model Eropa (Indirect quote)

Model tersebut adalah cara yang paling umum dipakai dalam perdagangan valuta asing antar bank seluruh dunia. Nilai tukarnya ditetapkan dengan menghitung berapa unit uang asing yang dibutuhkan untuk membeli satu unit mata uang dalam negeri.

b.              Model Amerika (direct quote)

Model tersebut didefinisikan sebagai harga mata uang asing dalam mata uang domestik, atau berapa besar nilai rupiah yang digunakan untuk membeli satu mata uang asing. Metode tersebut dipakai di Indonesia.

2.1.3. Bentuk Sistem Nilai Tukar

Sistem nilai tukar sangat tergantung pada kebijakan moneter suatu negara. Bentuk sistem nilai tukar dapat dibagi dalam dua bentuk (Berlianta, 2004), yaitu:

1.      Fixed Exchange Rate System

Merupakan suatu sistem nilai tukar dimana nilai suatu mata uang yang dipertahankan pada tingkat tertentu terhadap mata uang asing. Dan bila tingkat nilai tukar tersebut bergerak terlalu besar maka pemerintah melakukan intervensi untuk mengembalikannya. Sistem ini mulai diterapkan pada pasca perang dunia kedua yang ditandai dengan digelarnya konferensi mengenai sistem nilai tukar yang diadakan di Bretton Woods, New Hampshire pada tahun 1944.

2.      Floating Exchange Rate System

Setelah runtuhnya Fixed Exchange Rate System maka timbul konsep baru yaitu Floating Exchange Rate System. Dalam konsep ini nilai tukar valuta dibiarkan bergerak bebas. Nilai tukar valuta ditentukan oleh kekuatan permintaan dan penawaran valuta tersebut di pasar uang.

Fakta yang terjadi di banyak negara di dunia menganut varians dari kedua sistem pokok nilai tukar diatas. Menurut Gilis (1996), dalam Abimayu ,[5] terdapat enam sistem nilai tukar berdasarkan pada besarnya intervensi dan candangan devisa yang dimiliki bank sentral suatu negara yang dipakai oleh banyak negara di dunia antara lain:

1)        Sistem Nilai Tukar Tetap (fixed exchange rate)

Dalam sistem ini otoritas moneter selalu mengintervensi pasar untuk mempertahankan nilai tukar mata uang sendiri terhadap satu mata uang asing tertentu. Intervensi tersebut memerlukan cadangan devisa yang relatif besar. Tekanan terhadap nilai tukar valuta asing, yang biasanya bersumber dari defisit neraca perdagangan, cenderung menghasilkan kebijakan devaluasi.

2)        Sistem Nilai Mengambang Bebas (free floating exchange rate)

Sistem ini berada pada kutub yang bertentangan dengan sistem fixed. Dalam sistem ini, otoritas moneter secara teoritis tidak perlu mengintervensi pasar sehingga sistem ini tidak memerlukan cadangan devisa yang besar. Sistem ini berlaku di Indonesia saat ini.

3)        Sistem Wider Band

Pada sistem tersebut nilai tukar dibiarkan mengambang atau berfluktuasi diantara dua titik, tertinggi dan terendah. Apabila keadaan perekonomian mengakibatkan nilai tukar bergerak melampaui batas tertinggi dan terendah tersebut, maka otoritas moneter akan melaksanakan intervensi dengan cara membeli atau menjual rupiah sehingga nilai tukar rupiah berada diantara kedua titik yang telah ditentukan.

4)        Sistem Mengambang Terkendali (Managed Float)

Dalam sistem ini, otoritas moneter tidak menentukan untuk mempertahankan satu nilai tukar tertentu. Namun, otoritas moneter secara kontinyu melaksanakan intervensi berdasarkan pertimbangan tertentu, misalnya cadangan devisa yang menipis. Untuk mendorong ekspor, otoritas moneter akan melakukan intervensi agar nilai mata uang menguat.
5)        Sistem Crawling Peg

Otoritas moneter dalam sistem ini mengaitkan mata uang domestik dengan beberapa mata uang asing. Nilai tukar tersebut secara periodik dirubah secara berangsur-angsur dalam persentase yang kecil. Sistem ini dipakai di Indonesia pada periode 1988-1995.

6)        Sistem Adjustable Peg

Dalam sistem ini, otoritas moneter selain berkomitmen untuk mempertahankan nilai tukar juga berhak untuk merubah nilai tukar apabila terjadi perubahan dalam kebijakan ekonomi.

2.1.4.      Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Nilai Tukar

Dalam sistem nilai tukar tetap, mata uang lokal ditetapkan secara tetap terhadap mata uang asing. Sementara dalam sistem nilai tukar mengambang, nilai tukar atau kurs dapat berubah-ubah setiap saat, tergantung pada jumlah penawaran dan permintaan valuta asing relatif terhadap mata uang domestik. Setiap perubahan dalam penawaran dan permintaan dari suatu mata uang akan mempengaruhi nilai tukar mata uang yang bersangkutan.

Dalam hal permintaan terhadap valuta asing relatif terhadap mata uang domestik meningkat, maka nilai mata uang domestik akan menurun. Sebaliknya jika permintaan terhadap valuta asing menurun, maka nilai mata uang domestik meningkat. Sementara itu, jika penawaran valuta asing meningkat relatif terhadap mata uang domestik, maka nilai tukar mata uang domestik meningkat. Sebaliknya jika penawaran menurun, maka nilai tukar mata uang domestik menurun.

Dilihat dari faktor-faktor yang mempengaruhinya, terdapat 3 faktor utama yang mempengaruhi permintaan valuta asing, yaitu:

1.    Faktor pembayaran impor

Semakin tinggi impor barang dan jasa, maka semakin besar permintaan terhadap valuta asing sehingga nilai tukar akan cenderung melemah. Sebaliknya, jika impor menurun, maka permintaan valuta asing menurun sehingga mendorong menguatnya nilai tukar.

2.    Faktor aliran modal keluar

Semakin besar modal keluar, maka semakin besar permintaan valuta asing dan pada lanjutannya akan melemah nilai tukar uang. Aliran modal keluar meliputi pembayaran hutang penduduk Indonesia (baik swasta dan pemerintah) kepada pihak asing dan penempatan dana penduduk Indonesia ke luar negeri.

3.    Kegiatan spekulasi

Semakin banyak kegiatan spekulasi valuta asing yang dilakukan oleh spekulannnnn maka semakin besar nilai permintaan terhadap valuta asing sehingga memperlemah nilai tukar mata uang lokal terhadap mata uang asing.

Sementara itu, penawaran valuta asing dipengaruhi oleh dua faktor utama, yaitu:

1.    Faktor penerimaan hasil ekspor

Semakin besar volume penerimaan ekspor barang dan jasa, maka semakin besar jumlah valuta asing yang dimiliki oleh suatu negara dan pada lanjutannya nilai tukar terhadap mata asing cenderung menguat atau apresiasi. Sebaliknya jika ekspor menurun, maka jumlah valuta asing yuang dimiliki menurun sehingga nilai tukar juga cenderung mengalami depresiasi.

2.    Faktor aliran modal masuk

Semakin besar aliran modal masuk, maka nilai tukar akan cenderung semakin menguat. Aliran modal masuk tersebut dapat berupa penerimaan hutang luar negeri, penempatan dana jangka pendek oleh pihak asing (Portofolio invesment)dan investasi langsung pihak asing (foreign direct investment).

2.2.  Teori Nilai Tukar Uang Konvensional

Definisi nilai tukar atau kurs (foreign exchange rate) antara lain dikemukakan oleh Abimanyu dalam bukunya ‘Memahami kurs valuta asing’ adalah harga mata uang suatu negara relative terhadap mata uang negara lain. Karena nilai tukar ini mencakup dua mata uang, maka titik keseimbangannya ditentukan oleh sisi penawaran dan permintaan dari kedua mata uang tersebut.[1]

Exchange rates (nilai tukar uang) atau yang lebih popular di kenal dengan sebutan kurs mata uang adalah catatan (quotation) harga pasar dari mata uang asing (foreign currency) dalam harga mata uang domestik (domestic currency) atau resiprokalnya, yaitu harga mata uang domestic dalam mata uang asing. Nilai tukar uang merepresentasikan tingkat harga pertukaran dari satu mata uang ke mata uang yang lainnya dan di gunakan dalam berbagai  transaksi, antara lain transaksi perdagangan internasional, turisme, investasi internasional  ataupun aliran uang jangka pendek antarnegara, yang melewati batas-batas geografis ataupun batas-batas hukum.

Nilai tukar suatu mata uang dapat di tentukan oleh pemerintah (otoritas moneter), seperti pada Negara-negara yang memakai system fixed  exchange  rates ataupun di tentukan oleh kombinasi antara kekuatan-kekuatan pasar yang saling berinteraksi serta kebijakan pemerintah seperti pada Negara-negara yang memakai rezim system ‘flexible exchange rates.

Karena setiap negara memiliki hubungan dalam investasi dan perdagangan dengan negara lain, tidak ada satu pun nilai tukar yang dapat mengukur secara memadai daya beli (purchasing power) mata uang domestik atas mata uang asing secara umum. Oleh karena itu sejumlah konsep nilai tukar uang yang efektif telah dikembangkan untuk mengukur rata-rata tertimbang (weighted average) harga mata uang asing dalam mata uang domestik.[2]

2.3.  Teori Nilai Tukar Uang dalam Islam
Nilai tukar suatu mata uang di dalam Islam di golongkan dalam dua kelompok, yaitu: Natural dan Human. Dalam pembahasan nilai tukar menurut islam akan dipakai dua scenario yaitu:
1.        Terjadi perubahan-perubahan harga dalam negeri yang memengaruhi nilai tukar uang. Sebab-sebab fluktuasi sebuah mata uang dikelompokkan sebagai berikut:
a.       Natural Exchange Rate Fluctuation
1)      Fluktuasi nilai tukar uang akibat dari perubahan – perubahan yang terjadi pada permintaan agregatif ( AD ). Expansi AD akan mengakibatkan naiknya tingkat harga secara keseluruhan( P ), seperti kita ketahui bahwa: P= e P, jika tingkat harga dalam negeri naik, sedangkan tingkat harga di luar negeri tetap, maka nilai tukar mata uang akan mengalami depresiasi. Sebalik nya jika AD mengalami kontraksi maka tingkat harga akan mengalami penurunanyang akan mengakibatkan nilai tukar akan mengalami apresiasi.
2)      Fluktuasi nilai tukar uang akibat perubahan-perubahan yang terjadi pada penawaran agregatif (AS). Jika AS mengalami kontraksi, maka akan berakibat pada naiknya tingkat harga secra keseluruhan, yang kemudian akan mengakibatkan melemahnya (depresiasi) nilai tukar. Sebaliknya jika AS mengalami expansi maka akan berakibat pada turunya tingkat harga secara keseluruhan yang akan mengakibatkan menguatnya nilai tukar.
b.      Human Error Exchange Rate Fluctuation
1)        Corruption dan Bad Administration yang buruk akan mengakibatkan naiknya harga akibat terjadinya Missallocation of Resources serta Mark-up yang tinggi yang harus dilakukan oleh produsen untuk menutupi biaya-biaya siluman dalam proses produksinya.
2)      Excesssive Tax yang sangat tinggi yang dikenakan pada barang dan jasa akan meningkatkan harga jual dari barang dan jasa tersebut.
3)      Excessive Seignorage, pencetak full-bodyed money atau 100% reserve money tidak akan mengakibatkan terjadinya inflasi. Akan tetapi jika uang yang dicetak selain dari kedua jenis itu maka akan menyebabkan kenaikan tingkat harga secara umum.
2.        Perubahan harga yang terjadi diluar negeri
Perubahan harga yang terjadi diluar negeri bisa digolongkan  karena 2 sebab yaitu:
a.       Non engineered/ non manifulated changes
Disebut sebagai non eminered/non manifulated changes adalah karena perubahan yang terjadi bukan disebabakan oleh manipulasi (yang dimaksudkan untuk merugikan) oleh pihak-pihak tertentu. Misalkan jika bank central singapura (BSS) mengurangi jumlah uang SGD yang beredar, hal tersebut akan mengakibatkan IDR terdepresiasi tanpa diduga. Oleh karena itu BI biasanya akan menghilangkan efek ini dengan menjual SGD yang dimilikinya (cadangan devisa) baik dengan cara strilised intervention maupun dengan cara unsterilized intervention.
b.      Enginered / Manipulated changes
Disebut sebagai enginered / manipulated changes adalah karena perubahan yang terjadi disebabkan oleh manipulasi yang dilakukan oleh pihak-pihak tertentu yang dimasudkan untuk merugikan pihak lain. misalnya para fund manager disingapura melepas IDR yang dimilikinya sehingga terjadi banjir rupiah yang mengakibatkan nilai tukar rupiah mengalami depresiasai secar tiba-tiba atau drastis diluar perkiraaan BI.
2.4.  Sejarah Perkembangan Sistem Nilai Tukar di Indonesia
Dalam sejarah perekonomian Indonesia sistem nilai tukar di Indonesia pada intinya dikelompokkan menjadi empat bagian. Penetapan sistem nilai tukar oleh Bank Indonesia didasarkan pada berbagai pertimbangan, khususnya yang berkaitan dengan kondisi ekonomi pada saat itu. Perry dan Solikin memaparkan sistem nilai tukar yang berlaku di Indonesia sebagai berikut:[1]
1)        Sistem Nilai Tukar Bertingkat (Multiple Exchange Rate System)
Sistem ini dimulai sejak Oktober 1966 hingga Juli 1971. Penggunaan sistem ini dilakukan dalam rangka menghadapi berfluktuasinya nilai rupiah serta untuk mempertahankan dan meningkatkan daya saing yang hilang karena adanya inflasi dua digit selama periode tersebut.
2)        Sistem Nilai Tukar Tetap (Fixed Exchange Rate System)
Sistem yang berlaku mulai Agustus 1971 hingga Oktober 1978 ini mengaitkan secara langsung nilai tukar rupiah dengan dollar Amerika Serikat yaitu tarif US$1 =Rp415,00. Pemberlakuan sistem ini dilandasi oleh kuatnya posisi neraca pembayaran pada kurun waktu 1971-1978. Neraca pembayaran tersebut kuat karena sektor migas mempunyai peran besar dalam penerimaan devisa ekspor yang didukung oleh peningkatan harga minyak mentah (masa keemasan minyak).
3)         Sistem Nilai Tukar Mengambang Terkendali (Managed Floating Exchange Rate)
Sistem ini belaku sejak November 1978 sampai Agustus 1997. Pada masa ini nilai rupiah tidak lagi semata-mata dikaitkan dengan dolar Amerika Serikat akan tetapi terhadap sekeranjang mata uang asing (basket currency). Pada periode ini telah terjadi tiga kali devaluasi yaitu pada bulan November 1978, Maret 1983, dan September 1986. Setelah devaluasi tahun 1986, nilai nominal rupiah diperbolehkan terdepresiasi sebesar 3-5% per tahun untuk mempertahankan nilaitukar riil yang lebih baik. Pada sistem ini, nilai tukar dibagi dalam tiga periode yaitu:
a. Managed Floating I (1978-1986), terjadi fluktuasi nilai tukar yang tidak terlalu besar dengan nilai kurs berkisar antara Rp625,38 hingga Rp1.644,10. Periode tersebut lebih didominasi oleh ketidakpastian manajemen dari Bank Indonesia dibandingkan ketidakpastian floating karena situasi perekonomian pada saat tersebut belum berkembang. Hal ini dapat dilihat oleh adanya pergerakan nilai tukar nominal yang relatif tetap dan perubahan relatif baru terjadi pada tahun-tahun dimana Indonesia melakukan devaluasi rupiah.
b. Managed Floating II (1987-1992). Pada periode ini juga terjadi devaluasi walaupun tidak terlalu besar dengan nilai kurs antara Rp1.644,10 hingga Rp2.053,40. Namun pada periode ini, unsur floating lebih dominan dibandingkan ketidakpastian manajemen. Artinya, peran Bank Indonesia dalam melakukan intervensi pada pasar uang lebih sedikit dibandingkan pergerakan kurs yang ditentukan oleh pasar uang itu sendiri. Pemilihan strategi ini dalam rangka menjaga daya saing produk ekspor melalui pergerakan mata uang dalam kisaran sempit.
c. Managed Floating dengan Crawling Band Sistem (September 1992-Agustus 1997), terjadi depresiasi nilai tukar yang kisarannya antara Rp2.053,40 hingga Rp2.791,30. Pada periode ini unsur floating semakin diperlakukan dengan kisaran yang semakin lebar. Pada 1 September 1992, Bank Indonesia menetapkan rentang intervensi Rp10 dengan batas bawah Rp2.035 dan batas atas Rp2.045. Kemudian pada tanggal 11 Juli 1997 (akhir periode), Bank Indonesia akhirnya memperlebar rentang intervensi menjadi Rp304 dengan batas bawah Rp2.378 dan batas atas Rp2.682. Dengan demikian Bank Indonesia secara berkesinambungan melakukan pelebaran band intervention secara bertahap dan akhirnya band intervension dihapus sehingga rupiah lebih floating dibandingkan periode sebelumnya.

4)        Sistem Mengambang Bebas (Free Floating Exchange Rate System)
Sistem ini diberlakukan sejak 14 Agustus 1997 hingga sekarang. Dalam sistem ini Bank Indonesia melakukan intervensi di pasar valuta asing karenasemata-mata untuk menjaga kestabilan nilai tukar rupiah yang lebih banyak ditentukan oleh kekuatan pasar. Awalnya, penerapan sistem nilai tukar mengambang ini menyebabkan terjadinya gejolak yang berlebihan (overshooting).
Misalnya kurs pada tangga 14 Agustus melemah tajam menjadi Rp2.800 per dolar dari posisi Rp2.650 per dolar pada penutupan hari sebelumnya. Banyak factor yang menyebabkan nilai tukar rupiah terus merosot, mulai dari aksi ambil untung (profit taking) oleh pelaku pasar, tingginya permintaan perusahaan domestic terhadap dolar untuk pembayaran hutang luar negeri yang jatuh tempo, memburuknya perkembangan perbankan nasional, maupun oleh sebab-sebab lain.
Dalam rangka menyelesaikan persoalan tersebut, pada bulan November 1997, International Monetary Fund (IMF) masuk ke Indonesia. Dengan kondisi dalam negeri yang bergejolak, terutama situasi sosial politik, program pemulihan ekonomi yang dilakukan bersama-sama dengan IMF tidak dengan segera membuahkan hasil.
Sampai akhir Desember 1997, nilai tukar rupiah ditutup pada kisaran Rp5.000 per dolar, tetapi pergerakan nilai tukar rupiah semakin tak terkendali hingga mencapai puncaknya pada 22 Januari 1998 dimana kurs mencapai Rp16.000 per dolar.



[1] Warjiyo Perry dan Solikin, Seri Kebangsentralan No.6: Kebijakan Moneter di Indonesia(PPSK-BI, Jakarta: 2003)







[2] Adiwarman Karim, Ekonomi Islam: Suatu Kajian Ekonomi Makro (IIIT Indonesia, Jakarta:2002) hlm.87
 



[1] J.Madura, International Financial Management, 5th Edition (Prentice Hall, New York:1997) hlm. 108-114
[2] Yoopi Abimanyu, Memahami Kurs Valuta Asing(FE-UI, Jakarta:2004)
[3] Oliver Blanchard, Macroeconomics Fourth Edition (Prentice Hall, New Jersey: 2006)
[4] Frank J. Fabozzi dan Franco Modigliani, Capital Markets (Prentice Hall, New Jersey: 1992) dalam The Fei Ming, Day Trading Valuta Asing (Gramedia, Jakarta: 2002) hlm.664
[5] Yoopi Abimanyu, Op Cit, hlm. 8-10

1 komentar: