BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Salah satu hal yang menandai pergerakan meluasnya
globalisasi adalah semakin bebasnya pasar dunia, hambatan perdagangan mulai
berkurang dan semakin tidakberarti. Transaksi melewati batas negara merupakan
hal yang relatif mudah dan bukanhal yang luar biasa. Sehingga volume
perdagangan internasional pun semakin meningkat.
Seiring dengan meningkatnya perdagangan internasional,
meningkat pula penggunaan valuta asing. Nilai tukar valuta asing selalu
berubah-ubah. Banyak hal yang mempengaruhi perubahan tersebut, misalnya tingkat
inflasi, tingkat pendapatan masyarakat, suku bunga, kontrol pemerintah atas
perekonomian, termasuk harapan atau perkiraan masyarakat mengenai kondisi-kondisi
perekonomian di masa yang akan datang juga turut mempengaruhi perubahan dalam
nilai tukar mata uang.[1]
Dengan melihat latar belakang di atas, dalam makalah ini, penyusun akan
membahas tentang nilai tukar baik yang konvensional maupun Islam.
1.2.
Rumusan
Masalah
1.
Apa yang dimaksud dengan nilai
tukar uang?
2.
Bagaimana teori nilai tukar
konvensional?
3.
Bagaimana teori nilai tukar dalam
Islam?
4.
Bagaimanakah sejarah perkembangan nilai
tukar uang di Indonesia?
1.3.
Tujuan Masalah
1.
Mengetahui dan memahami definisi
dari nilai tukar baik secara konvensional maupun Islam.
2.
Mengetahui bagaimana sejarah
perkembangan nilai tukar uang di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1.Nilai Tukar
2.1.1. Definisi Nilai Tukar
Definisi
niilai tukar atau kurs (foreign exchange rate) antara lain dikemukakan
oleh Abimanyu adalah harga mata uang suatu negara relative terhadap mata uang
negara lain.[2]
Karena nilai tukar ini mencakup dua mata uang, maka titik keseimbangannya
ditentukan oleh sisi penawaran dan permintaan dari kedua mata uang tersebut.
Pengertian
lain dari nilai tukar ditulis oleh Olivier Blanchard dalam bukunya ”Macroeconomics”
adalah :
”Nominal
exchange rate as the price of the domestic currency in term of foreign currency”.[3]
Frank J.
Fabozzi dan Franco Modigliani memberikan defenisi mengenai nilai tukar sebagai
berikut:
”An
exchange rate is defined as the amount of one currency that can be exchanged
per unit of another currency, or the price of one currency in terms of another
currency”.[4]
Dapat
disimpulkan dari beberapa definisi diatas bahwa nilai tukar adalah sejumlah
uang dari suatu mata uang tertentu yang dapat dipertukarkan dengan satu unit
mata uang negara lain.
2.1.2. Cara Menyatakan Nilai Tukar
Menurut
Abimanyu, ada dua cara untuk menyatakan nilai tukar, yaitu:
a.
Model Eropa (Indirect quote)
Model tersebut
adalah cara yang paling umum dipakai dalam perdagangan valuta asing antar bank
seluruh dunia. Nilai tukarnya ditetapkan dengan menghitung berapa unit uang
asing yang dibutuhkan untuk membeli satu unit mata uang dalam negeri.
b.
Model Amerika (direct quote)
Model tersebut
didefinisikan sebagai harga mata uang asing dalam mata uang domestik, atau
berapa besar nilai rupiah yang digunakan untuk membeli satu mata uang asing.
Metode tersebut dipakai di Indonesia.
2.1.3. Bentuk Sistem Nilai Tukar
Sistem nilai
tukar sangat tergantung pada kebijakan moneter suatu negara. Bentuk sistem
nilai tukar dapat dibagi dalam dua bentuk (Berlianta, 2004), yaitu:
1.
Fixed Exchange
Rate System
Merupakan
suatu sistem nilai tukar dimana nilai suatu mata uang yang dipertahankan pada
tingkat tertentu terhadap mata uang asing. Dan bila tingkat nilai tukar
tersebut bergerak terlalu besar maka pemerintah melakukan intervensi untuk
mengembalikannya. Sistem ini mulai diterapkan pada pasca perang dunia kedua
yang ditandai dengan digelarnya konferensi mengenai sistem nilai tukar yang
diadakan di Bretton Woods, New Hampshire pada tahun 1944.
2.
Floating
Exchange Rate System
Setelah
runtuhnya Fixed Exchange Rate System maka timbul konsep baru yaitu Floating
Exchange Rate System. Dalam konsep ini nilai tukar valuta dibiarkan bergerak
bebas. Nilai tukar valuta ditentukan oleh kekuatan permintaan dan penawaran
valuta tersebut di pasar uang.
Fakta yang
terjadi di banyak negara di dunia menganut varians dari kedua sistem pokok
nilai tukar diatas. Menurut Gilis (1996), dalam Abimayu ,[5]
terdapat enam sistem nilai tukar berdasarkan pada besarnya intervensi dan candangan
devisa yang dimiliki bank sentral suatu negara yang dipakai oleh banyak negara
di dunia antara lain:
1)
Sistem Nilai Tukar Tetap (fixed
exchange rate)
Dalam sistem
ini otoritas moneter selalu mengintervensi pasar untuk mempertahankan nilai tukar
mata uang sendiri terhadap satu mata uang asing tertentu. Intervensi tersebut
memerlukan cadangan devisa yang relatif besar. Tekanan terhadap nilai tukar
valuta asing, yang biasanya bersumber dari defisit neraca perdagangan,
cenderung menghasilkan kebijakan devaluasi.
2)
Sistem Nilai Mengambang Bebas (free
floating exchange rate)
Sistem ini
berada pada kutub yang bertentangan dengan sistem fixed. Dalam sistem
ini, otoritas moneter secara teoritis tidak perlu mengintervensi pasar sehingga
sistem ini tidak memerlukan cadangan devisa yang besar. Sistem ini berlaku di
Indonesia saat ini.
3)
Sistem Wider Band
Pada sistem
tersebut nilai tukar dibiarkan mengambang atau berfluktuasi diantara dua titik,
tertinggi dan terendah. Apabila keadaan perekonomian mengakibatkan nilai tukar
bergerak melampaui batas tertinggi dan terendah tersebut, maka otoritas moneter
akan melaksanakan intervensi dengan cara membeli atau menjual rupiah sehingga
nilai tukar rupiah berada diantara kedua titik yang telah ditentukan.
4)
Sistem Mengambang Terkendali (Managed
Float)
Dalam sistem
ini, otoritas moneter tidak menentukan untuk mempertahankan satu nilai tukar
tertentu. Namun, otoritas moneter secara kontinyu melaksanakan intervensi
berdasarkan pertimbangan tertentu, misalnya cadangan devisa yang menipis. Untuk
mendorong ekspor, otoritas moneter akan melakukan intervensi agar nilai mata
uang menguat.
5)
Sistem Crawling Peg
Otoritas
moneter dalam sistem ini mengaitkan mata uang domestik dengan beberapa mata
uang asing. Nilai tukar tersebut secara periodik dirubah secara berangsur-angsur
dalam persentase yang kecil. Sistem ini dipakai di Indonesia pada periode
1988-1995.
6)
Sistem Adjustable Peg
Dalam sistem
ini, otoritas moneter selain berkomitmen untuk mempertahankan nilai tukar juga
berhak untuk merubah nilai tukar apabila terjadi perubahan dalam kebijakan
ekonomi.
2.1.4.
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Nilai Tukar
Dalam sistem nilai tukar tetap, mata uang lokal ditetapkan secara tetap
terhadap mata uang asing. Sementara dalam sistem nilai tukar mengambang, nilai
tukar atau kurs dapat berubah-ubah setiap saat, tergantung pada jumlah
penawaran dan permintaan valuta asing relatif terhadap mata uang domestik.
Setiap perubahan dalam penawaran dan permintaan dari suatu mata uang akan
mempengaruhi nilai tukar mata uang yang bersangkutan.
Dalam hal permintaan terhadap valuta asing relatif terhadap mata uang
domestik meningkat, maka nilai mata uang domestik akan menurun. Sebaliknya jika
permintaan terhadap valuta asing menurun, maka nilai mata uang domestik
meningkat. Sementara itu, jika penawaran valuta asing meningkat relatif
terhadap mata uang domestik, maka nilai tukar mata uang domestik meningkat.
Sebaliknya jika penawaran menurun, maka nilai tukar mata uang domestik menurun.
Dilihat dari faktor-faktor yang mempengaruhinya, terdapat 3 faktor utama
yang mempengaruhi permintaan valuta asing, yaitu:
1. Faktor pembayaran impor
Semakin tinggi impor barang dan jasa, maka semakin besar permintaan
terhadap valuta asing sehingga nilai tukar akan cenderung melemah. Sebaliknya,
jika impor menurun, maka permintaan valuta asing menurun sehingga mendorong
menguatnya nilai tukar.
2. Faktor aliran modal keluar
Semakin besar modal keluar, maka semakin besar permintaan valuta asing dan
pada lanjutannya akan melemah nilai tukar uang. Aliran modal keluar meliputi
pembayaran hutang penduduk Indonesia (baik swasta dan pemerintah) kepada pihak
asing dan penempatan dana penduduk Indonesia ke luar negeri.
3. Kegiatan spekulasi
Semakin banyak kegiatan spekulasi valuta asing yang dilakukan oleh
spekulannnnn maka semakin besar nilai permintaan terhadap valuta asing sehingga
memperlemah nilai tukar mata uang lokal terhadap mata uang asing.
Sementara itu, penawaran valuta asing dipengaruhi oleh dua faktor utama,
yaitu:
1.
Faktor penerimaan hasil ekspor
Semakin besar volume penerimaan ekspor barang dan jasa, maka semakin besar
jumlah valuta asing yang dimiliki oleh suatu negara dan pada lanjutannya nilai
tukar terhadap mata asing cenderung menguat atau apresiasi. Sebaliknya jika
ekspor menurun, maka jumlah valuta asing yuang dimiliki menurun sehingga nilai
tukar juga cenderung mengalami depresiasi.
2.
Faktor aliran modal masuk
Semakin besar aliran modal masuk, maka nilai tukar akan cenderung semakin
menguat. Aliran modal masuk tersebut dapat berupa penerimaan hutang luar
negeri, penempatan dana jangka pendek oleh pihak asing (Portofolio invesment)dan
investasi langsung pihak asing (foreign direct investment).
2.2. Teori Nilai Tukar Uang Konvensional
Definisi
nilai tukar atau kurs (foreign exchange rate) antara lain dikemukakan
oleh Abimanyu dalam bukunya ‘Memahami
kurs valuta asing’ adalah harga mata uang suatu negara relative terhadap
mata uang negara lain. Karena nilai tukar ini mencakup dua mata uang, maka
titik keseimbangannya ditentukan oleh sisi penawaran dan permintaan dari kedua
mata uang tersebut.[1]
Exchange
rates (nilai tukar uang) atau yang lebih popular di kenal dengan sebutan kurs
mata uang adalah catatan (quotation) harga pasar dari mata uang asing (foreign
currency) dalam harga mata uang domestik (domestic currency) atau
resiprokalnya, yaitu harga mata uang domestic dalam mata uang asing. Nilai
tukar uang merepresentasikan tingkat harga pertukaran dari satu mata uang ke
mata uang yang lainnya dan di gunakan dalam berbagai transaksi, antara lain transaksi perdagangan
internasional, turisme, investasi internasional
ataupun aliran uang jangka pendek antarnegara, yang melewati batas-batas
geografis ataupun batas-batas hukum.
Nilai
tukar suatu mata uang dapat di tentukan oleh pemerintah (otoritas moneter),
seperti pada Negara-negara yang memakai system fixed exchange
rates ataupun di tentukan oleh kombinasi antara kekuatan-kekuatan pasar
yang saling berinteraksi serta kebijakan pemerintah seperti pada Negara-negara
yang memakai rezim system ‘flexible exchange rates.
Karena
setiap negara memiliki hubungan dalam investasi dan perdagangan dengan negara
lain, tidak ada satu pun nilai tukar yang dapat mengukur secara memadai daya
beli (purchasing power) mata uang domestik atas mata uang asing secara umum.
Oleh karena itu sejumlah konsep nilai tukar uang yang efektif telah
dikembangkan untuk mengukur rata-rata tertimbang (weighted average) harga mata
uang asing dalam mata uang domestik.[2]
2.3.
Teori Nilai
Tukar Uang dalam Islam
Nilai tukar suatu mata uang di dalam Islam di
golongkan dalam dua kelompok, yaitu: Natural dan Human. Dalam pembahasan nilai
tukar menurut islam akan dipakai dua scenario yaitu:
1.
Terjadi perubahan-perubahan harga dalam negeri yang memengaruhi nilai tukar
uang. Sebab-sebab fluktuasi sebuah mata uang dikelompokkan sebagai berikut:
a.
Natural Exchange Rate Fluctuation
1)
Fluktuasi nilai tukar uang akibat dari perubahan – perubahan
yang terjadi pada permintaan agregatif ( AD ). Expansi AD akan mengakibatkan
naiknya tingkat harga secara keseluruhan( P ), seperti kita ketahui bahwa: P= e
P, jika tingkat harga dalam negeri naik, sedangkan tingkat harga di luar negeri
tetap, maka nilai tukar mata uang akan mengalami depresiasi. Sebalik nya jika
AD mengalami kontraksi maka tingkat harga akan mengalami penurunanyang akan
mengakibatkan nilai tukar akan mengalami apresiasi.
2)
Fluktuasi nilai tukar uang akibat perubahan-perubahan
yang terjadi pada penawaran agregatif (AS). Jika AS mengalami kontraksi, maka
akan berakibat pada naiknya tingkat harga secra keseluruhan, yang kemudian akan
mengakibatkan melemahnya (depresiasi) nilai tukar. Sebaliknya jika AS mengalami
expansi maka akan berakibat pada turunya tingkat harga secara keseluruhan yang
akan mengakibatkan menguatnya nilai tukar.
b.
Human Error Exchange Rate Fluctuation
1)
Corruption dan Bad Administration yang buruk akan mengakibatkan naiknya
harga akibat terjadinya Missallocation of Resources serta Mark-up yang tinggi
yang harus dilakukan oleh produsen untuk menutupi biaya-biaya siluman dalam
proses produksinya.
2)
Excesssive Tax yang sangat tinggi yang dikenakan pada
barang dan jasa akan meningkatkan harga jual dari barang dan jasa tersebut.
3)
Excessive Seignorage, pencetak full-bodyed money atau
100% reserve money tidak akan mengakibatkan terjadinya inflasi. Akan tetapi
jika uang yang dicetak selain dari kedua jenis itu maka akan menyebabkan
kenaikan tingkat harga secara umum.
2.
Perubahan harga yang terjadi diluar negeri
Perubahan harga yang terjadi diluar negeri bisa
digolongkan karena 2 sebab yaitu:
a.
Non engineered/ non manifulated changes
Disebut sebagai non eminered/non manifulated changes
adalah karena perubahan yang terjadi bukan disebabakan oleh manipulasi (yang
dimaksudkan untuk merugikan) oleh pihak-pihak tertentu. Misalkan jika bank
central singapura (BSS) mengurangi jumlah uang SGD yang beredar, hal tersebut akan
mengakibatkan IDR terdepresiasi tanpa diduga. Oleh karena itu BI biasanya akan
menghilangkan efek ini dengan menjual SGD yang dimilikinya (cadangan devisa)
baik dengan cara strilised intervention maupun dengan cara unsterilized
intervention.
b.
Enginered / Manipulated changes
Disebut
sebagai enginered / manipulated changes adalah karena perubahan yang terjadi disebabkan
oleh manipulasi yang dilakukan oleh pihak-pihak tertentu yang dimasudkan untuk
merugikan pihak lain. misalnya para fund manager disingapura melepas IDR yang
dimilikinya sehingga terjadi banjir rupiah yang mengakibatkan nilai tukar
rupiah mengalami depresiasai secar tiba-tiba atau drastis diluar perkiraaan BI.
2.4.
Sejarah
Perkembangan Sistem Nilai Tukar di Indonesia
Dalam sejarah
perekonomian Indonesia sistem nilai tukar di Indonesia pada intinya
dikelompokkan menjadi empat bagian. Penetapan sistem nilai tukar oleh Bank
Indonesia didasarkan pada berbagai pertimbangan, khususnya yang berkaitan
dengan kondisi ekonomi pada saat itu. Perry dan Solikin memaparkan sistem nilai
tukar yang berlaku di Indonesia sebagai berikut:[1]
1)
Sistem Nilai
Tukar Bertingkat (Multiple Exchange Rate System)
Sistem ini
dimulai sejak Oktober 1966 hingga Juli 1971. Penggunaan sistem ini dilakukan
dalam rangka menghadapi berfluktuasinya nilai rupiah serta untuk mempertahankan
dan meningkatkan daya saing yang hilang karena adanya inflasi dua digit selama
periode tersebut.
2)
Sistem Nilai
Tukar Tetap (Fixed Exchange Rate System)
Sistem yang
berlaku mulai Agustus 1971 hingga Oktober 1978 ini mengaitkan secara langsung
nilai tukar rupiah dengan dollar Amerika Serikat yaitu tarif US$1 =Rp415,00.
Pemberlakuan sistem ini dilandasi oleh kuatnya posisi neraca pembayaran pada
kurun waktu 1971-1978. Neraca pembayaran tersebut kuat karena sektor migas
mempunyai peran besar dalam penerimaan devisa ekspor yang didukung oleh peningkatan
harga minyak mentah (masa keemasan minyak).
3)
Sistem Nilai Tukar Mengambang Terkendali (Managed
Floating Exchange Rate)
Sistem ini
belaku sejak November 1978 sampai Agustus 1997. Pada masa ini nilai rupiah
tidak lagi semata-mata dikaitkan dengan dolar Amerika Serikat akan tetapi
terhadap sekeranjang mata uang asing (basket currency). Pada periode ini
telah terjadi tiga kali devaluasi yaitu pada bulan November 1978, Maret 1983, dan
September 1986. Setelah devaluasi tahun 1986, nilai nominal rupiah diperbolehkan
terdepresiasi sebesar 3-5% per tahun untuk mempertahankan nilaitukar riil yang
lebih baik. Pada sistem ini, nilai tukar dibagi dalam tiga periode yaitu:
a. Managed
Floating I (1978-1986), terjadi fluktuasi nilai tukar yang tidak terlalu
besar dengan nilai kurs berkisar antara Rp625,38 hingga Rp1.644,10. Periode
tersebut lebih didominasi oleh ketidakpastian manajemen dari Bank Indonesia
dibandingkan ketidakpastian floating karena situasi perekonomian pada
saat tersebut belum berkembang. Hal ini dapat dilihat oleh adanya pergerakan
nilai tukar nominal yang relatif tetap dan perubahan relatif baru terjadi pada
tahun-tahun dimana Indonesia melakukan devaluasi rupiah.
b. Managed
Floating II (1987-1992). Pada periode ini juga terjadi devaluasi walaupun
tidak terlalu besar dengan nilai kurs antara Rp1.644,10 hingga Rp2.053,40.
Namun pada periode ini, unsur floating lebih dominan dibandingkan
ketidakpastian manajemen. Artinya, peran Bank Indonesia dalam melakukan
intervensi pada pasar uang lebih sedikit dibandingkan pergerakan kurs yang
ditentukan oleh pasar uang itu sendiri. Pemilihan strategi ini dalam rangka
menjaga daya saing produk ekspor melalui pergerakan mata uang dalam kisaran
sempit.
c. Managed
Floating dengan Crawling Band Sistem (September
1992-Agustus 1997), terjadi depresiasi nilai tukar yang kisarannya antara
Rp2.053,40 hingga Rp2.791,30. Pada periode ini unsur floating semakin
diperlakukan dengan kisaran yang semakin lebar. Pada 1 September 1992,
Bank Indonesia menetapkan rentang intervensi Rp10 dengan batas bawah
Rp2.035 dan batas atas Rp2.045. Kemudian pada tanggal 11 Juli 1997
(akhir periode), Bank Indonesia akhirnya memperlebar rentang intervensi
menjadi Rp304 dengan batas bawah Rp2.378 dan batas atas Rp2.682. Dengan
demikian Bank Indonesia secara berkesinambungan melakukan pelebaran band
intervention secara bertahap dan akhirnya band intervension dihapus
sehingga rupiah lebih floating dibandingkan periode sebelumnya.
4)
Sistem
Mengambang Bebas (Free Floating Exchange Rate System)
Sistem ini
diberlakukan sejak 14 Agustus 1997 hingga sekarang. Dalam sistem ini Bank
Indonesia melakukan intervensi di pasar valuta asing karenasemata-mata untuk
menjaga kestabilan nilai tukar rupiah yang lebih banyak ditentukan oleh kekuatan
pasar. Awalnya, penerapan sistem nilai tukar mengambang ini menyebabkan
terjadinya gejolak yang berlebihan (overshooting).
Misalnya kurs
pada tangga 14 Agustus melemah tajam menjadi Rp2.800 per dolar dari posisi
Rp2.650 per dolar pada penutupan hari sebelumnya. Banyak factor yang
menyebabkan nilai tukar rupiah terus merosot, mulai dari aksi ambil untung (profit
taking) oleh pelaku pasar, tingginya permintaan perusahaan domestic terhadap
dolar untuk pembayaran hutang luar negeri yang jatuh tempo, memburuknya
perkembangan perbankan nasional, maupun oleh sebab-sebab lain.
Dalam rangka
menyelesaikan persoalan tersebut, pada bulan November 1997, International
Monetary Fund (IMF) masuk ke Indonesia. Dengan kondisi dalam negeri yang
bergejolak, terutama situasi sosial politik, program pemulihan ekonomi yang
dilakukan bersama-sama dengan IMF tidak dengan segera membuahkan hasil.
Sampai akhir
Desember 1997, nilai tukar rupiah ditutup pada kisaran Rp5.000 per dolar,
tetapi pergerakan nilai tukar rupiah semakin tak terkendali hingga mencapai
puncaknya pada 22 Januari 1998 dimana kurs mencapai Rp16.000 per dolar.
[1]
Warjiyo Perry dan Solikin, Seri Kebangsentralan No.6: Kebijakan Moneter di
Indonesia(PPSK-BI, Jakarta: 2003)
[1]Dikutip
dari http://www.lontar.ui.ac.id/login.jsp?requester=file?file=digital/131352-T%2027626-Peranan%20faktor-Tinjauan%20literatur.pdf,
diakses pada hari Rabu, 07 Mei 2014.
[2]
Adiwarman Karim, Ekonomi Islam: Suatu Kajian Ekonomi Makro (IIIT Indonesia,
Jakarta:2002) hlm.87
[1]
J.Madura, International Financial Management, 5th Edition (Prentice
Hall, New York:1997) hlm. 108-114
[2]
Yoopi Abimanyu, Memahami Kurs Valuta Asing(FE-UI, Jakarta:2004)
[3]
Oliver Blanchard, Macroeconomics Fourth Edition (Prentice Hall, New
Jersey: 2006)
[4]
Frank J. Fabozzi dan Franco Modigliani, Capital Markets (Prentice Hall,
New Jersey: 1992) dalam The Fei Ming, Day Trading Valuta Asing
(Gramedia, Jakarta: 2002) hlm.664
[5]
Yoopi Abimanyu, Op Cit, hlm. 8-10
Contoh kasus nya mna...?
BalasHapus