Sabtu, 17 Mei 2014

Pemikiran Ekonomi Yahya bin Umar

 Pemikiran Ekonomi Yahya bin Umar



  1. 1.1.            Riwayat Hidup

Yahya bin Umar merupakan salah satu fuqaha mazhab Maliki. Ulama yang bernama lengkap Abu Bakar Yahya bin Umar bin Yusuf Al Kannani Al Andalusi ini lahir pada tahun 213 H. dan dibesarkan di Kordova, Spanyol. Seperti para cendekiawan terdahulu, ia berkelana ke berbagai negeri untuk menuntut ilmu. Pada mulanya, ia singgah di Mesir dan berguru kepada para pemuka sahabat Abdullahbin Wahab Al-Maliki dan Ibn Al-Qasim. Setelah itu, ia pindah ke Hijaz dan berguru, di antaranya, kepada Abu Mus’ab Az-Zuhri.
Akhirnya, Yahya bin Umar menetap di Qairuwan, Afrika, dan menyempurnakan pendidikannya kepada seorang ahli ilmu faraid dan hisab, Abu Zakaria Yahya bin Sulaiman Al-Farisi. Dalam perkembangan selanjutnya, ia menjadi pengajar di Jami’ Al-Qairuwan.
Pada masa hidupnya ini, terjadi konflik yang menajam anatar fuqaha Malikiyah dengan fuqaha Hanafiyah yang dipicu oleh persaingan memperebutkan pengaruh dalam pemerintahan. Yahya bin Umar terpaksa pergi dari Qairuwan dan menetap di Sausah ketika Ibnu ‘Abdun, yang berusaha menyingkirkan para ulama penentangnya, baik dengan cara memenjarakan maupun membunuh, atau menjabat qadi di negeri itu. Setelah Ibnu ‘Abdun turun  dari jabatannya, Ibrahim bin Ahmad Al-Aglabi menawarkan jabatan qadi kepada Yahya bin Umar. Namun, ia menolaknya dan memilitetpa tinggal di Sausah serta mengajar di Jami’ Al-Sabt hingga akhir hayatnya. Yahya bin Umar wafat pada tahun 289 H.(901 M.).
  1. 1.2.            Kitab Ahkam al Suq
Semasa hidupnya, di samping aktif mengajar, Yahya bin Umar juga banyak menghasilkan karya tulis hingga mencapai 40 juz.[1] Di anatara beberapa karyanya yang terkenal adalah kitab al-Muntakhabah fi Ikhtishar al Mustakhrijah fi al fiqh al Maliki dan kitab Ahkam al Suq.

Kitab ahkam al suq yang berasala dari benua afrika pada abad ketiga hijriyah ini merupakan kitab pertama di Dunia Islam yang khusus membahas hisbah dan berbagai hukum pasar, satu penyajian materi yang berbeda dari pembahasan–pembahasan fiqh pada umumnya, salah satu hal yang memengaruhinya adalah situasi kota Qairuwan, tempat yahya bin umar menghabiskan bagian terpenting masa hidupnya. Pada saat itu, kota tersebut telah memiliki institusi pasar yang permanen sejak tahun 155 H. dan para penguasanya, mulai dari masa Yazid bin Hatim Al Muhibli hingga sebelum masa Ja’far al Manshur, sangat memerhatikan keberadaan institusi pasar. Bahkan, pada tahun 234 H., Qanun, penguasa lembaga peradilan kota tersebut, mengangkat seorang hakim yang khusus menangani permasalah-permasalahan pasar.[1] Dengan demikian, pada masa Yahya bin Umar, kota Qairuwan telah memiliki dua keistimawaan, yaitu:
a.       Keberadaan institusi pasar mendapat perhatian khusus dan pengaturan yang memadai dari para penguasa.
b.      Dalam lembaga peradilan, terdapat seorang hakim yang khusus menangani berbagai permasalahan pasar.
Tentang kitab Ahkam al Suq, Yahya bin Umar menyebutkan bahwa penulisan kitab ini dilatarbelakangi oleh dua persoalan mendasar, yaitu, pertama, hukum syara’ tentang perbedaan kesatuan timbangan dan takaran perdagangan dalam satu wilayah, kedua: hukum syara’ tentang harga gandum yang tidak terkendali akibat pemberlakuaan liberalisasi harga, sehingga dikhawatirkan dapat menimbulkan kemudaratan bagi para konsumen.[2] Dengan demikian, kitan Ahkam al Suq sebenarnya merupakan penjelasan dari jawaban kedua persoalan tersebut.
Dalam membahas kedua persoalan itu, yahya bin umar menjelaskan secara komprehensif yang disertai dengan diskusi panjang, hingga melampaui jawaban yang diperlukan. Sebelum menjawabnya, ia menulis mukaddimah secara terperinci tentang berbagai tanggung jawab pemerintah, seperti kewajiban melakukan inspeksi pasar, mengontrol dan takaran, serta mengungkapkan  perihal mata uang.[3] Jika dilihat dari sisi metode pembahasan, hal ini berarti bahwa pembhasan dalam kitab Ahkam al Suq lebih banyak menggunakan metode presentasi dan kategorisasi.
Yahya bin umar diyakini mengajarkan kitab tersebut untuk pertama kalinya di kota Sausah pada masa pasca konflik. Dalam perkembangan berikutnya, terdapat dua riwayat tentang kitab ini, riwayat al Qashri yang sekarang kita pelajari dan riwayat al Syibli.[4]

  1. 1.3.             Pemikiran Ekonomi

Penekanan pemikiran ekonomi Yahya bin Umar adalah pada masalah penetapan harga (al-tas’ir). Ia berpendapat bahwa penetapan harga tidak boleh dilakukan. Hujjahnya adalah mengenai kisah para sahabat yang meminta Rosulullah untuk menetapkan harga karena melonjaknya harga barang namun ditolak oleh Rosulullah dengan alasan Allah-lah yang mengusai harga. Dalam konteks ini, penetapan harga yang dilarang oleh Yahya bin Umar adalah kenaikan harga karena interaksi permintaan dan penawaran. Namun jika harga melonjak karena human error maka pemerintah mempunyai hak intervensi untuk kesejahteraan masyarakat.
Lebih luas lagi mengenai larangan penetapan harga, Yahya bin Umar mengijinkan pemerintah melakukan intervensi apabila :
1.    Para pedagang tidak memperdagangkan barang dagangan yang dibutuhkan masyarakat sehingga dapat merusak mekanisme pasar.
2.    Para pedagang melakukan praktik siyasah al-ighraq atau banting harga (dumping) yang dapat menimbulakan persaingan tidak sehat dan dapat mengacaukan stabilitas harga.
  1. 1.4.            Wawasan Modern Teori Yahya bin Umar

Sekalipun tema utama yang diangkat dalam kitabnya, Ahkam al Suq, adalah mengenai hukum-hukum pasar, pada dasarnya, konsep Yahya bin Umar lebih banyak terkait dengan permasalahan ihtikar dan siyasah al ighraq. Dalam ilmu ekonomi kontemporer, kedua hal tersebut masing-masing dikenal dengan istilah monopoly’s rent-seeking dan dumping. Berikut adalah wawasan modern Yahya bin Umar yang dikemukakan pada masanya :
1.4.1.      Ihtikar (Monopoly’s Rent-Seeking).
Islam secara tegas melarang praktek ihtikar, yakni mengambil keuntungan di atas keuntungan normal dengan cara menjual lebih sedikit barang untuk harga yang lebih tinggi.[1] Sehingga ihtikar dapat mengakibatkan terganggunya mekanisme pasar, di mana penjual akan menjual sedikit barang dagangannya, sementara permintaan terhadap barang tersebut sangat banyak, sehingga di pasar terjadi kelangkaan barang. Berdasarkan hukum ekonomi, maka: ”Semakin sedikit persediaan barang di pasar, maka harga barang semakin naik dan permintaan terhadap barang semakin berkurang.”
Dalam kondisi seperti ini produsen dapat menjual barangnya dengan harga yang lebih tinggi dari harga normal. Penjual akan mendapatkan keuntungan yang lebih besar dari keuntungan normal (super normal profit), sementara konsumen akan menderita kerugian. Jadi, akibat ihtikar masyarakat akan dirugikan oleh ulah sekelompok kecil manusia. Oleh karena itu, dalam pasar monopoli seorang produsen dapat bertindak sebagai price maker (penentu harga).
Para ulama sepakat bahwa illat pengharaman ihtikar adalah karena dapat menimbulkan kemudlaratan bagi manusia.[2] Sedangkan kemudlaratan merupakan sesuatu yang harus dihilangkan. Implikasi lebih jauh, ihtikar tidak hanya akan merusak mekanisme pasar, tetapi juga akan menghentikan keuntungan yang akan diperoleh orang lain dan dapat menghambat proses distribusi kekayaan di antara manusia, sebab konsumen masih harus membayar harga produk yang lebih tinggi dari ongkos marjinal.[3] Dengan demikian praktek ihtikar akan menghambat kesejahteraan umat manusia. Padahal salah satu tujuan dari sistem ekonomi, apapun bentuknya adalah kesejahteraan umat manusia.Dari definisi di atas, kita dapat menyimpulkan  bahwa sebuah aktivitas ekonomi baru akan dapat dikatakan sebagai ihtikar jika memenuhi setidaknya dua syarat berikut: pertama, objek penimbunan merupakan barang-barang kebutuhan masyarakat, dan yang kedua, tujuan penimbunan adalah untuk meraih keuntungan di atas keuntungan normal. Dengan demikian, ihtikar tidak identic dengan monopoli ataupun penimbunan. Islam tidak melarang seseorang melakukan aktivitas bisnis, baik dalam kondisi dia merupakan satu-satunya penjual (monopoli) ataupun ada penjual lain. Islam juga tidak melarang seseorang menyimpan stock barang untuk keperluan persediaan. Jika digambarkan dalam sebuah grafik, dalam pasar manapun, baik monopoli, oligopoly maupun pasar bersaing sempurna, titik optimal akan terjadi pada saat MC=MR. Perbedaannya terletak pada kurva demand yang dihadapi produsen.



 
 







Gambar 1, dalam pasar monopoli, karena hanya ada satu produsen, maka demand yang dihadapinya adalah market demand (permintaan pasar), sedangkan dalam pasar bersaing sempurna, karena ada banyak produsen, demand yang dihadapi masing-masing produsen adalah individual demand (permintaan individu). Oleh karena itu, dalam pasar monopoli, si produsen dapat bertindak sebagai price maker (penentu harga) sedangkan dalam pasar bersaing sempurna, produsen hanya dapat bertindak sebagai price taker (mengikuti harga pasar).

 
Pada Gambar 1, kita dapat membedakan kurva individu antara pasar bersaing sempurna dan monopoli. Pada kurva permintaan individu pasara bersaing sempurna, demand (D) sama dengan average revenue (AR) dan marginal revenue (MR), (D=AR=MR). Sedangkan di pasar monopoli, demand (D) sama dengan average revenue (AR) tetapi tidak sama dengan kurva marginal revenue (MR). Dengan demikian, kurva permintaan dalam pasar bersaing sempurna berbentuk perfect elastis sedangkan di pasar monopoli berbentuk elastis.











Bagaimana perilaku industri yang melakukan ihtikar? Pada Gambar 2, kita dapat menjelaskan lebih lanjut dampak ihtikar terhadap penentuan harga, kuantitas barang dan keuntungan yang dapat diperoleh oleh produsen. Hakikat ihtikar adalah memproduksi lebih sedikit dari kemampuan produksinya untuk mendapat keuntungan yang lebih besar. Sebagai contoh, kemampuan produksi industry A adalah Q1. Karena industry tersebut menghadapi pasar monopoli, ada kesempatan untuk memproduksi barang agar dapat keuntungan yang maksimal.
Keuntungan maksimal yang dapat diambil oleh industry yang berperilaku sebagai monopolis (melakukan ihtikar), maka ia akan memilih tingkat produksinya ketika MC=MR, denagn jumlah Q sebesar Qm , dan P sebesar Pm. Dengan demikian, ia memproduksi lebih sedikit, dan menjual pada harga yang lebih tinggi. Profit yang dinikmati adalah sebesar kotak PmXYZ. Hal inilah yang dilarang karena produsen tersebut sebenarnya dapat berproduksi dengan tingkat output yang lebih tinggi yaitu S=D, atau ketika MC=AR. Pada tingkat ini, jumlah barang yang diproduksi lebih banyak, yakni sebesar Qi, dan harganya pun lebih murah, yakni sebesar Pi. Tentu saja profit yang dihasilkan lebih sedikit, yakni sebesar kotak ABCD. Selisih profit antara kotak PmXYZ dengan kotak ABCD inilah yang merupakan monopoly’s rent yang diharamkan.

1.1.1.      Siyasah al-Ighraq (Dumping Policy)
Siyasah al-Ighraq (dumping) adalah sebuah aktivitas perdagangan yang bertujuan untuk mencari keuntungan dengan jalan menjual barang pada tingkat harga yang lebih rendah dari harga yang berlaku di pasaran. Perilaku seperti ini secara tegas dilarang oleh agama karena dapat menimbulkan kemudlaratan bagi masyarakat.
Siyasah al-Ighraq (dumping) dilakukan oleh seseorang dengan maksud agar para saingan dagangnya mengalami kebangkrutan. Dengan demikian ia akan leluasa menentukan harga di pasar. Siyasah al ighraq atau banting harga (dumping) dapat menimbulkan persaingan yang tidak sehat serta dapat mengacaukan stabilitas harga di pasar.
Dalam kondisi seperti ini pemerintah mempunyai otoritas untuk memerintahkan para pedagang tersebut agar menaikkan kembali harga barang sesuai dengan harga yang berlaku di pasar. Apabila mereka tidak mau mentaati aturan pemerintah, maka pemerintah berhak mengusir para pedagang tersebut dari pasar. Hal ini pernah dipraktekkan Khalifah Umar bin Khattab, ketika mendapati seorang pedang kismis yang menjual barang dagangannya di bawah standart harga di pasar. Maka Khalifah Umar bin Khattab memberikan pilihan kepada pedagang tersebut; menaikkan harga sesuai dengan harga standart di pasar atau keluar dari pasar.
Dalam sistem negara modern dewasa ini, keterlibatan negara dalam mengontrol pasar khususnya yang terkait dengan fluktuasi harga barang dan regulasi pasar semakin dibutuhkan. Kebutuhan akan peran pemerintah semakin diperlukan sebagai akibat dari meningkatnya pola-pola ketidakadilan para pelaku pasar bebas yang berujung pada merebaknya otoritasi kontrol harga yang terpusat pada segelintir orang.
Di samping mentalitas para spekulan yang hanya berorientasi mengeruk keuntungan sepihak, dengan mengorbankan kepentingan rakyat. Seperti penimbunan barang-barang kebutuhan pokok khususnya pada saat permintaan barang meningkat di hari-hari besar umat Islam atau tahun baru dan lain-lain. Tidak mengherankan jika pada hari-hari besar tersebut tiba-tiba harga barang meningkat tajam, atau stok habis dari peredaran. Bahkan kelangkaan juga tejadi pada barang yang jelas-jelas telah mendapatkan subsidi dari pemerintah seperti gas elpiji dalam ukuran 3 kg atau minimnya minyak tanah baru-baru ini dan langkanya pupuk di beberapa daerah di Indonesia.
Peran pemerintah untuk menertibkan sekaligus memberikan kenyamanan dalam bentuk memberikan efek jera kepada para pelaku ketidakadilan di atas sungguh diharapkan. Pernah suatu waktu, harga-harga barang di pasar Madinah meningkat tajam, dan hal ini dikeluhkan oleh para sahabat kepada Nabi, dan mereka meminta kepada nabi untuk mematok harga atas barang-barang di pasar (al-tas`ir). Namun Nabi menolak, dengan alasan khawatir hal itu akan merugikan para penjual dari kalangan pemilik barang. Tentu kejadian ini harus dilihat dari konteks waktu diucapkannya perkataan nabi tersebut, jika seandainya nabi masih hidup saat ini, niscaya beliau akan setuju dengan permintaan para sahabat untuk memberikan harga standar atas barang-barang yang beredar di pasar.
Perubahan karakter pada pelaku bisnis dahulu dan sekarang tentunya yang merubah fatwa tersebut. Dan bukan seperti yang disangka oleh para pendukung sistem kapitalis, bahwa hakekatnya nabi mendukung pasar bebas atau sangat membela kepentingan para pemiliki modal (the capital).
Demikianlah etika pasar dalam Islam, yang tidak semata diarahkan bagi para pelaku bisnis baik pedagang dan pembeli saja, melainkan juga bagi stakeholders atau pada pembenahan sistem secara menyeluruh. Lebih jelasnya etika pasar dalam Islam ini menghendaki pembenahan sistem dan kerjasama sinergis antara semua unsur baik pelaku bisnis, masyarakat dan pemerintah.

1.2.            Intervensi Pemerintah terhadap Ta’sir (Regulas Harga)
Pasar merupakan pusat terjadinya penyediaan (supply) dan permintaan (demand) barang. Kedudukan pasar dalam Islam begitu tinggi, sebab selain bidang pertanian dan perdagangan merupakan salah satu profesi yang sangat dianjurkan oleh Islam. Karakteristik pasar Islam ialah di dalamnya terdapat aturan, mekanisme dan nilai-nilai Islam yang dijadikan standar aktifitas. Karakteristik inilah yang menjadi kekhasan Islam yang tidak mengenal dikotomi ranah dunia dan akhirat. Aktifitas bisnis yang berorientasi materiil selalu diimbangi dengan kecintaan membelanjakan harta di jalan Allah (spiritual). Islam merupakan agama yang menjunjung tinggi kebebasan dalam berekonomi. Sehingga Islam memberikan kebebasan kepada umatnya untuk melakukan inovasi dan kreativitas dalam bermuamalah.
Kebebasan ekonomi tersebut juga berarti bahwa harga ditentukan oleh kekuatan pasar, yakni kekuatan penawaran (supply) dan permintaan (demand). Dalam kondisi seperti ini, maka pemerintah di larang melakukan intervensi terhadap harga. Pada pasal 5 ayat 1 dan 2 UU No. 5 Tahun 1999 mengindikasikan adanya larangan untuk melakukan persekongkolan dalam rangka menetapkan harga di pasar.[1]
Berbicara tentang regulasi harga, tentu kita ingat bahwa pengawasan harga muncul pertama kali pada zaman Rasulullah SAW. Pada masa itu Rasulullah bertindak sebagai Hasib (pengawas) – versi Indonesia, KPPU-Komisi Pengawas Persaingan Usaha. Kondisi saat itu, masyarakat dihadapkan dalam kondisi harga yang melambung tinggi, sehingga sahabat meminta Rasul untuk menurunkan harga.
Namun demikian, Rasul menolak permintaan sahabat tersebut. Rasul mengatakan ”Allah mengakui adanya kelebihan dan kekurangan, Dia-lah pembuat harga berubah dan menjadi harga sebenarnya, saya berdo’a agar Allah tidak membiarkan ketidakadilan seseorang dalam darah atau hak milik.” Dalam sebuah hadits dinyatakan:

عن انس بن مالك قال الناس: يارسول الله غلا اسعرفسعرلنا فقال رسول الله: ان الله هوالمسعرالقابض الباسط الرزاق وانى لارجو ان القى الله وليس احدمنكم يطالبنى بمظلمة فى دم ولا مال (رواه ابو داود)
“Dari Anas bin Malik, para manusia (sahabat) berkata: Wahai Rasulullah telah terjadi lonjakan harga, maka tetapkanlah harga bagi kami. Rasulullah menjawab: Sesungguhnya Allah-lah penentu harga, penahan, yang memudahkan dan yang memberi rizki. Aku berharap dapat bertemu dengan Allah dan tidak seorangpun dari kalian (boleh) menuntutku karena kedzaliman dalam persoalan jiwa dan harta.”(HR. Abu Daud)
Dari riwayat tersebut, dapatlah kiranya kita pahami bahwa penetapan harga secara eksplisit tidak diperkenankan oleh Rasul. Sebab dengan penetapan harga akan memicu ketidakadilan baru. Jika harga ditetapkan jauh lebih tinggi maka konsumen akan dirugikan, sebaliknya jika harga ditetapkan sangat rendah, maka produsen yang akan dirugikan. Bagi penulis, Hadist di atas dilatar belakangi oleh kondisi harga yang dalam prespektif Rasul masih bisa di jangkau oleh masyarakat. Selain itu, penetapan harga adalah sesuatu yang sensitif, sebab jika terjadi kesalahan dalam menetapkan harga maka akan melahirkan ketidakadilan (dhalim/injustice) baru dalam kehidupan masyarakat.
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah bagaimana jika harga komoditas tidak bisa terjangkau oleh daya beli masyarakat. Dalam hal ini, jika kenaikan harga di pasar diakibatkan oleh ulah para spekulan, sehingga menyebabkan instabilitas harga di pasar, pemerintah sebagai institusi formal yang mempunyai tanggung jawab menciptakan kesejahteraan umum, berhak melakukan intervensi harga ketika terjadi suatu aktivitas yang dapat membahayakan bagi kehidupan masyarakat luas dengan melakukan stabilisasi.
Dua hal yang membolehkan pemerintah melakukan intervensi terhadap regulasi harga di pasar, yaitu:
a)    Para pedagang tidak menjual barang dagangan tertentu (ihtikar/Monopoly’s Rent-Seeking), padahal masyarakat sangat membutuhkannya, akibat ulah dari sebagian pedagang tersebut, harga di pasar menjadi tidak stabil dan hal tersebut dapat membahayakan kehidupan masyarakat luas dan mencegah terciptanya masyarakat yang sejahtera. Dalam kondisi seperti itu pemerintah dapat melakukan intervensi agar harga barang menjadi normal kembali.
b)   Sebagian pedagang melakukan praktek siyasah al ighraq atau banting harga (dumping). Praktek banting harga dapat menimbulkan persaingan yang tidak sehat serta dapat mengacaukan stabilitas harga di pasar. Dalam kondisi seperti ini pemerintah mempunyai otoritas untuk memerintahkan para pedagang tersebut agar menaikkan kembali harga barang sesuai dengan harga yang berlaku di pasar.

1.1.            Dumping Respirokal
Analisis dumping tersebut memberikan kesan bahwa diskriminasi harga (price discrimination) akan dapat meningkatkan perdagangan luar negeri. Namun, bila ditelaah lebih jauh, akan tampak jelas bahwa kesan tersebut tidak selamanya benar. Anggap saja ada dua perusahaan monopoli yang masing-masing memproduksi barang yang sama, satu di dalam negeri dan satu lainnya di luar negeri. Untuk menyederhanakan analisis ini, asumsikan bahwa kedua perusahaan tersebut memiliki marginal cost yang sama. Anggap juga terdapat beberapa biaya transportasi antara kedua pasar tersebut sehingga, jika perusahaan itu mengenakan harga yang sama, tidak akan ada perdagangan.
Jika kita memasukkan kemungkinan terjadinya praktik dumping, perdagangan dapat saja tetap terjadi. Dalam hal ini, setiap perusahaan akan membatasi jumlah barang yang akan dijual di pasar domestic, karena volume penjualan yang lebih besar akan menurunkan harga yang telah ada di pasar domestic. Apabila mampu menjual sejumlah kecil di pasar lain, perusahaan akan menambah keuntungannya sekalipun harganyalebih rendah daripada yang ada di pasar domestic, karena efek negative terhadap harga dari penjualan yang ada akan terkena pada perusahaan lain, bukan perusahaan itu sendiri. Dengan demikian, setipa perusahaan memiliki daya tarik untuk “menyerbu” pasar lain, menjual sejumlah kecil unit pada tingkat harga yang lebih rendah daripada tingkat harga yang berlaku di pasar domestic, akan tetapi tetap di atas marginal cost.
Apabila kedua perusahaan tersebut melakukan hal ini, yang berarti terjadi reciprocal dumping, hasilnya akan timbul perdagangan yang tidak memiliki perbedaan harga suatu barang di kedua pasar, sekalipun terdapat biaya-biaya transportasi. Bahkan lebih dari itu, secara khusus, akan terdapat dua jalur perdagangan dalam produk yang sama. Sebagai contoh, sebuah pabrik semen di Negara A melakukan ekspor ke Negara B dan, sebaliknya, pabrik semen di Negara B melakukan ekspor ke Negara A. Sekalipun contoh tersebut terlihat ekstrem dan pada kenyataannya jarang terjadi dalam dunia perdagangan internasional, hal ini menunjukkan bahwa reciprocal dumping tidak dapat meningkatkan volume perdagangan, bahkan merupakan perbuatan yang sia-sia.[1]


DAFTAR PUSTAKA


Karim, Adiwarman. 2003. Ekonomi Mikro Islam. Jakarta: IIIT-Indonesia.
Karim, Abdurrahman. 2012. Sejarah Pemikiran Ekonomi. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Abdur Rasul, Ali. 1980. al-Mabadi’ al- iqtishadiyyah fi al-Islam. Beirut: Dar al-Fikr al Arabi.
Abdurrahman Al Janidal, Hammad. 1406 H. Manahij al Bahitsin fi al Iqtishad Al-Islami. Riyadh: Syirkah al Ubaikan li al Thaba’ah wa al Nasyr.
Al-Audi, Rifa’at. 1985. Min al Turats: Al Iqtishad li Al-Muslimin. Makkah: Rabithah ‘Alam al Islami.
Yusuf, S. M. 1988. Economic Justice in Islam. New Delhi: Kitab Bhavan.
 



[1] Abdurrahman A. Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2012), Edisi Ketiga, hlm. 298-299.


[1] http://mohammadsubhan.wordpress.com/2010/02/15/pemikiran-ekonomi-yahya-bin-umar-dalam-perspektif-ekonomi-modern/




[1] Adiwarman A. Karim, Ekonomi Mikro Islam (Jakarta: IIIT-Indonesia, 2003), Edisi 2, Cet. Ke-2, hlm. 266.
[2] Ali Abdur Rasul, al-Mabadi’ al- iqtishadiyyah fi al-Islam (Beirut: Dar al-Fikr al Arabi, 1980), Cet. Ke-2, hlm. 101.
[3] S. M. Yusuf, Economic Justice in Islam (New Delhi: Kitab Bhavan, 1988), hlm. 43.



[1] Mengenai berabagi hal lain yang memenagaruhi keistimewaan pembahasan hukum-hukum pasar dalam kitab ini, lihat Rifa’at al Audi, Min al Turats: al Iqtishad li al-Muslimin (Makkah: Rabithah ‘Alam al Islami, 1985), Cet. Ke-4, hlm.44-46.
[2] Hammad bin Abdurrahman Al Janidal, Op. Cit., hlm.120
[3] Ibid., hlm. 52.
[4] Rifa’at al Audi, Op. Cit., hlm. 44.




[1] Hammad bin Abdurrahman Al Janidal, Manahij al Bahitsin fi al Iqtishad al-Islami (Riyadh: Syirkah al Ubaikan li al Thaba’ah wa al Nasyr, 1406 H.)hlm. 118.

1 komentar: