Pemikiran Ekonomi Yahya bin Umar
- 1.1. Riwayat Hidup
Yahya bin Umar merupakan salah satu fuqaha
mazhab Maliki. Ulama yang bernama lengkap Abu Bakar Yahya bin Umar bin Yusuf Al
Kannani Al Andalusi ini lahir pada tahun 213 H. dan dibesarkan di Kordova,
Spanyol. Seperti para cendekiawan terdahulu, ia berkelana ke berbagai negeri
untuk menuntut ilmu. Pada mulanya, ia singgah di Mesir dan berguru kepada para
pemuka sahabat Abdullahbin Wahab Al-Maliki dan Ibn Al-Qasim. Setelah itu, ia
pindah ke Hijaz dan berguru, di antaranya, kepada Abu Mus’ab Az-Zuhri.
Akhirnya, Yahya bin Umar menetap di
Qairuwan, Afrika, dan menyempurnakan pendidikannya kepada seorang ahli ilmu faraid
dan hisab, Abu Zakaria Yahya bin Sulaiman Al-Farisi. Dalam
perkembangan selanjutnya, ia menjadi pengajar di Jami’ Al-Qairuwan.
Pada masa hidupnya ini, terjadi konflik yang menajam anatar fuqaha
Malikiyah dengan fuqaha Hanafiyah yang dipicu oleh persaingan
memperebutkan pengaruh dalam pemerintahan. Yahya bin Umar terpaksa pergi dari
Qairuwan dan menetap di Sausah ketika Ibnu ‘Abdun, yang berusaha menyingkirkan
para ulama penentangnya, baik dengan cara memenjarakan maupun membunuh, atau
menjabat qadi di negeri itu. Setelah Ibnu ‘Abdun turun dari jabatannya, Ibrahim bin Ahmad Al-Aglabi
menawarkan jabatan qadi kepada Yahya bin Umar. Namun, ia menolaknya dan
memilitetpa tinggal di Sausah serta mengajar di Jami’ Al-Sabt hingga akhir hayatnya.
Yahya bin Umar wafat pada tahun 289 H.(901 M.).
- 1.2. Kitab Ahkam al Suq
Semasa hidupnya, di samping aktif
mengajar, Yahya bin Umar juga banyak menghasilkan karya tulis hingga mencapai
40 juz.[1]
Di anatara beberapa karyanya yang terkenal adalah kitab al-Muntakhabah fi
Ikhtishar al Mustakhrijah fi al fiqh al Maliki dan kitab Ahkam al Suq.
Kitab ahkam al suq yang berasala
dari benua afrika pada abad ketiga hijriyah ini merupakan kitab pertama di
Dunia Islam yang khusus membahas hisbah dan berbagai hukum pasar, satu
penyajian materi yang berbeda dari pembahasan–pembahasan fiqh pada umumnya,
salah satu hal yang memengaruhinya adalah situasi kota Qairuwan, tempat yahya
bin umar menghabiskan bagian terpenting masa hidupnya. Pada saat itu, kota
tersebut telah memiliki institusi pasar yang permanen sejak tahun 155 H. dan
para penguasanya, mulai dari masa Yazid bin Hatim Al Muhibli hingga sebelum
masa Ja’far al Manshur, sangat memerhatikan keberadaan institusi pasar. Bahkan,
pada tahun 234 H., Qanun, penguasa lembaga peradilan kota tersebut, mengangkat
seorang hakim yang khusus menangani permasalah-permasalahan pasar.[1]
Dengan demikian, pada masa Yahya bin Umar, kota Qairuwan telah memiliki dua
keistimawaan, yaitu:
a.
Keberadaan institusi pasar mendapat
perhatian khusus dan pengaturan yang memadai dari para penguasa.
b.
Dalam lembaga peradilan, terdapat
seorang hakim yang khusus menangani berbagai permasalahan pasar.
Tentang kitab Ahkam al Suq,
Yahya bin Umar menyebutkan bahwa penulisan kitab ini dilatarbelakangi oleh dua
persoalan mendasar, yaitu, pertama, hukum syara’ tentang perbedaan kesatuan
timbangan dan takaran perdagangan dalam satu wilayah, kedua: hukum syara’
tentang harga gandum yang tidak terkendali akibat pemberlakuaan liberalisasi
harga, sehingga dikhawatirkan dapat menimbulkan kemudaratan bagi para konsumen.[2]
Dengan demikian, kitan Ahkam al Suq sebenarnya merupakan penjelasan dari
jawaban kedua persoalan tersebut.
Dalam membahas kedua persoalan itu,
yahya bin umar menjelaskan secara komprehensif yang disertai dengan diskusi
panjang, hingga melampaui jawaban yang diperlukan. Sebelum menjawabnya, ia
menulis mukaddimah secara terperinci tentang berbagai tanggung jawab
pemerintah, seperti kewajiban melakukan inspeksi pasar, mengontrol dan takaran,
serta mengungkapkan perihal mata uang.[3]
Jika dilihat dari sisi metode pembahasan, hal ini berarti bahwa pembhasan dalam
kitab Ahkam al Suq lebih banyak menggunakan metode presentasi dan kategorisasi.
Yahya bin umar diyakini mengajarkan
kitab tersebut untuk pertama kalinya di kota Sausah pada masa pasca konflik.
Dalam perkembangan berikutnya, terdapat dua riwayat tentang kitab ini, riwayat
al Qashri yang sekarang kita pelajari dan riwayat al Syibli.[4]
- 1.3. Pemikiran Ekonomi
Penekanan pemikiran ekonomi
Yahya bin Umar adalah pada masalah penetapan harga (al-tas’ir). Ia
berpendapat bahwa penetapan harga tidak boleh dilakukan. Hujjahnya adalah
mengenai kisah para sahabat yang meminta Rosulullah untuk menetapkan harga
karena melonjaknya harga barang namun ditolak oleh Rosulullah dengan alasan
Allah-lah yang mengusai harga. Dalam konteks ini, penetapan harga yang dilarang
oleh Yahya bin Umar adalah kenaikan harga karena interaksi permintaan dan
penawaran. Namun jika harga melonjak karena human error maka
pemerintah mempunyai hak intervensi untuk kesejahteraan masyarakat.
Lebih luas lagi
mengenai larangan penetapan harga, Yahya bin Umar mengijinkan pemerintah
melakukan intervensi apabila :
1. Para pedagang tidak memperdagangkan barang dagangan yang dibutuhkan
masyarakat sehingga dapat merusak mekanisme pasar.
2. Para pedagang melakukan praktik siyasah al-ighraq atau
banting harga (dumping) yang dapat menimbulakan persaingan tidak sehat
dan dapat mengacaukan stabilitas harga.
- 1.4. Wawasan Modern Teori Yahya bin Umar
Sekalipun tema utama yang diangkat dalam kitabnya, Ahkam
al Suq, adalah mengenai hukum-hukum pasar, pada dasarnya, konsep Yahya bin
Umar lebih banyak terkait dengan permasalahan ihtikar dan siyasah al
ighraq. Dalam ilmu ekonomi kontemporer, kedua hal tersebut masing-masing
dikenal dengan istilah monopoly’s rent-seeking dan dumping. Berikut
adalah wawasan modern Yahya bin Umar yang dikemukakan pada masanya :
1.4.1.
Ihtikar (Monopoly’s
Rent-Seeking).
Islam secara tegas
melarang praktek ihtikar, yakni mengambil keuntungan di atas keuntungan
normal dengan cara menjual lebih sedikit barang untuk harga yang lebih tinggi.[1]
Sehingga ihtikar dapat mengakibatkan terganggunya mekanisme pasar, di
mana penjual akan menjual sedikit barang dagangannya, sementara permintaan
terhadap barang tersebut sangat banyak, sehingga di pasar terjadi kelangkaan
barang. Berdasarkan hukum ekonomi, maka: ”Semakin sedikit persediaan barang di
pasar, maka harga barang semakin naik dan permintaan terhadap barang semakin
berkurang.”
Dalam kondisi seperti
ini produsen dapat menjual barangnya dengan harga yang lebih tinggi dari harga
normal. Penjual akan mendapatkan keuntungan yang lebih besar dari keuntungan
normal (super normal profit), sementara konsumen akan menderita kerugian. Jadi,
akibat ihtikar masyarakat akan dirugikan oleh ulah sekelompok kecil
manusia. Oleh karena itu, dalam pasar monopoli seorang produsen dapat bertindak
sebagai price maker (penentu harga).
Para ulama sepakat
bahwa illat pengharaman ihtikar adalah karena dapat menimbulkan
kemudlaratan bagi manusia.[2]
Sedangkan kemudlaratan merupakan sesuatu yang harus dihilangkan. Implikasi
lebih jauh, ihtikar tidak hanya akan merusak mekanisme pasar, tetapi
juga akan menghentikan keuntungan yang akan diperoleh orang lain dan dapat
menghambat proses distribusi kekayaan di antara manusia, sebab konsumen masih
harus membayar harga produk yang lebih tinggi dari ongkos marjinal.[3]
Dengan demikian praktek ihtikar akan menghambat kesejahteraan umat
manusia. Padahal salah satu tujuan dari sistem ekonomi, apapun bentuknya adalah
kesejahteraan umat manusia.Dari definisi di atas, kita dapat
menyimpulkan bahwa sebuah aktivitas
ekonomi baru akan dapat dikatakan sebagai ihtikar jika memenuhi
setidaknya dua syarat berikut: pertama, objek penimbunan merupakan
barang-barang kebutuhan masyarakat, dan yang kedua, tujuan penimbunan adalah
untuk meraih keuntungan di atas keuntungan normal. Dengan demikian, ihtikar
tidak identic dengan monopoli ataupun penimbunan. Islam tidak melarang
seseorang melakukan aktivitas bisnis, baik dalam kondisi dia merupakan
satu-satunya penjual (monopoli) ataupun ada penjual lain. Islam juga tidak
melarang seseorang menyimpan stock barang untuk keperluan persediaan.
Jika digambarkan dalam sebuah grafik, dalam pasar manapun, baik monopoli,
oligopoly maupun pasar bersaing sempurna, titik optimal akan terjadi pada saat
MC=MR. Perbedaannya terletak pada kurva demand yang dihadapi produsen.
Gambar 1, dalam pasar
monopoli, karena hanya ada satu produsen, maka demand yang dihadapinya
adalah market demand (permintaan pasar), sedangkan dalam pasar bersaing
sempurna, karena ada banyak produsen, demand yang dihadapi masing-masing
produsen adalah individual demand (permintaan individu). Oleh karena
itu, dalam pasar monopoli, si produsen dapat bertindak sebagai price maker
(penentu harga) sedangkan dalam pasar bersaing sempurna, produsen hanya dapat
bertindak sebagai price taker (mengikuti harga pasar).
|
Bagaimana
perilaku industri yang melakukan ihtikar? Pada Gambar 2, kita dapat
menjelaskan lebih lanjut dampak ihtikar terhadap penentuan harga,
kuantitas barang dan keuntungan yang dapat diperoleh oleh produsen. Hakikat ihtikar
adalah memproduksi lebih sedikit dari kemampuan produksinya untuk mendapat
keuntungan yang lebih besar. Sebagai contoh, kemampuan produksi industry A
adalah Q1. Karena industry tersebut menghadapi
pasar monopoli, ada kesempatan untuk memproduksi barang agar dapat keuntungan
yang maksimal.
Keuntungan
maksimal yang dapat diambil oleh industry yang berperilaku sebagai monopolis
(melakukan ihtikar), maka ia akan memilih tingkat produksinya ketika MC=MR,
denagn jumlah Q sebesar Qm , dan P sebesar Pm.
Dengan demikian, ia memproduksi lebih sedikit, dan menjual pada harga yang
lebih tinggi. Profit yang dinikmati adalah sebesar kotak PmXYZ.
Hal inilah yang dilarang karena produsen tersebut sebenarnya dapat berproduksi
dengan tingkat output yang lebih tinggi yaitu S=D, atau ketika MC=AR.
Pada tingkat ini, jumlah barang yang diproduksi lebih banyak, yakni sebesar Qi,
dan harganya pun lebih murah, yakni sebesar Pi. Tentu saja
profit yang dihasilkan lebih sedikit, yakni sebesar kotak ABCD. Selisih
profit antara kotak PmXYZ dengan kotak ABCD inilah
yang merupakan monopoly’s rent yang diharamkan.
1.1.1. Siyasah al-Ighraq (Dumping
Policy)
Siyasah al-Ighraq (dumping) adalah sebuah aktivitas perdagangan yang bertujuan untuk mencari
keuntungan dengan jalan menjual barang pada tingkat harga yang lebih rendah
dari harga yang berlaku di pasaran. Perilaku seperti ini secara tegas dilarang
oleh agama karena dapat menimbulkan kemudlaratan bagi masyarakat.
Siyasah al-Ighraq (dumping) dilakukan oleh seseorang dengan maksud agar para saingan dagangnya
mengalami kebangkrutan. Dengan demikian ia akan leluasa menentukan harga di
pasar. Siyasah al ighraq atau banting harga (dumping) dapat
menimbulkan persaingan yang tidak sehat serta dapat mengacaukan stabilitas
harga di pasar.
Dalam
kondisi seperti ini pemerintah mempunyai otoritas untuk memerintahkan para
pedagang tersebut agar menaikkan kembali harga barang sesuai dengan harga yang
berlaku di pasar. Apabila mereka tidak mau mentaati aturan pemerintah, maka
pemerintah berhak mengusir para pedagang tersebut dari pasar. Hal ini pernah
dipraktekkan Khalifah Umar bin Khattab, ketika mendapati seorang pedang kismis
yang menjual barang dagangannya di bawah standart harga di pasar. Maka Khalifah
Umar bin Khattab memberikan pilihan kepada pedagang tersebut; menaikkan harga
sesuai dengan harga standart di pasar atau keluar dari pasar.
Dalam
sistem negara modern dewasa ini, keterlibatan negara dalam mengontrol pasar
khususnya yang terkait dengan fluktuasi harga barang dan regulasi pasar semakin
dibutuhkan. Kebutuhan akan peran pemerintah semakin diperlukan sebagai akibat
dari meningkatnya pola-pola ketidakadilan para pelaku pasar bebas yang berujung
pada merebaknya otoritasi kontrol harga yang terpusat pada segelintir orang.
Di samping
mentalitas para spekulan yang hanya berorientasi mengeruk keuntungan sepihak,
dengan mengorbankan kepentingan rakyat. Seperti penimbunan barang-barang
kebutuhan pokok khususnya pada saat permintaan barang meningkat di hari-hari
besar umat Islam atau tahun baru dan lain-lain. Tidak mengherankan jika pada
hari-hari besar tersebut tiba-tiba harga barang meningkat tajam, atau stok
habis dari peredaran. Bahkan kelangkaan juga tejadi pada barang yang
jelas-jelas telah mendapatkan subsidi dari pemerintah seperti gas elpiji dalam
ukuran 3 kg atau minimnya minyak tanah baru-baru ini dan langkanya pupuk di
beberapa daerah di Indonesia.
Peran
pemerintah untuk menertibkan sekaligus memberikan kenyamanan dalam bentuk
memberikan efek jera kepada para pelaku ketidakadilan di atas sungguh
diharapkan. Pernah suatu waktu, harga-harga barang di pasar Madinah meningkat
tajam, dan hal ini dikeluhkan oleh para sahabat kepada Nabi, dan mereka meminta
kepada nabi untuk mematok harga atas barang-barang di pasar (al-tas`ir).
Namun Nabi menolak, dengan alasan khawatir hal itu akan merugikan para penjual
dari kalangan pemilik barang. Tentu kejadian ini harus dilihat dari konteks
waktu diucapkannya perkataan nabi tersebut, jika seandainya nabi masih hidup
saat ini, niscaya beliau akan setuju dengan permintaan para sahabat untuk
memberikan harga standar atas barang-barang yang beredar di pasar.
Perubahan
karakter pada pelaku bisnis dahulu dan sekarang tentunya yang merubah fatwa
tersebut. Dan bukan seperti yang disangka oleh para pendukung sistem kapitalis,
bahwa hakekatnya nabi mendukung pasar bebas atau sangat membela kepentingan para
pemiliki modal (the capital).
Demikianlah
etika pasar dalam Islam, yang tidak semata diarahkan bagi para pelaku bisnis
baik pedagang dan pembeli saja, melainkan juga bagi stakeholders atau pada
pembenahan sistem secara menyeluruh. Lebih jelasnya etika pasar dalam Islam ini
menghendaki pembenahan sistem dan kerjasama sinergis antara semua unsur baik
pelaku bisnis, masyarakat dan pemerintah.
1.2.
Intervensi Pemerintah terhadap Ta’sir (Regulas Harga)
Pasar merupakan pusat terjadinya penyediaan (supply) dan permintaan (demand)
barang. Kedudukan pasar dalam Islam begitu tinggi, sebab selain bidang
pertanian dan perdagangan merupakan salah satu profesi yang sangat dianjurkan
oleh Islam. Karakteristik pasar Islam ialah di dalamnya terdapat aturan,
mekanisme dan nilai-nilai Islam yang dijadikan standar aktifitas. Karakteristik
inilah yang menjadi kekhasan Islam yang tidak mengenal dikotomi ranah dunia dan
akhirat. Aktifitas bisnis yang berorientasi materiil selalu diimbangi dengan
kecintaan membelanjakan harta di jalan Allah (spiritual). Islam
merupakan agama yang menjunjung tinggi kebebasan dalam berekonomi. Sehingga
Islam memberikan kebebasan kepada umatnya untuk melakukan inovasi dan
kreativitas dalam bermuamalah.
Kebebasan ekonomi tersebut juga berarti bahwa harga ditentukan oleh kekuatan
pasar, yakni kekuatan penawaran (supply) dan permintaan (demand).
Dalam kondisi seperti ini, maka pemerintah di larang melakukan intervensi
terhadap harga. Pada pasal 5 ayat 1 dan 2 UU No. 5 Tahun 1999 mengindikasikan
adanya larangan untuk melakukan persekongkolan dalam rangka menetapkan harga di
pasar.[1]
Berbicara tentang regulasi harga, tentu kita ingat bahwa pengawasan harga
muncul pertama kali pada zaman Rasulullah SAW. Pada masa itu Rasulullah
bertindak sebagai Hasib (pengawas) – versi Indonesia, KPPU-Komisi Pengawas
Persaingan Usaha. Kondisi saat itu, masyarakat dihadapkan dalam kondisi harga
yang melambung tinggi, sehingga sahabat meminta Rasul untuk menurunkan harga.
Namun demikian, Rasul menolak permintaan sahabat tersebut. Rasul mengatakan
”Allah mengakui adanya kelebihan dan kekurangan, Dia-lah pembuat harga berubah
dan menjadi harga sebenarnya, saya berdo’a agar Allah tidak membiarkan
ketidakadilan seseorang dalam darah atau hak milik.” Dalam sebuah hadits
dinyatakan:
عن انس بن مالك قال الناس: يارسول الله غلا اسعرفسعرلنا فقال رسول الله: ان الله هوالمسعرالقابض الباسط الرزاق وانى لارجو ان القى الله وليس احدمنكم يطالبنى بمظلمة فى دم ولا مال (رواه ابو داود)
“Dari Anas bin
Malik, para manusia (sahabat) berkata: Wahai Rasulullah telah terjadi lonjakan
harga, maka tetapkanlah harga bagi kami. Rasulullah menjawab: Sesungguhnya
Allah-lah penentu harga, penahan, yang memudahkan dan yang memberi rizki. Aku
berharap dapat bertemu dengan Allah dan tidak seorangpun dari kalian (boleh)
menuntutku karena kedzaliman dalam persoalan jiwa dan harta.”(HR. Abu Daud)
Dari riwayat
tersebut, dapatlah kiranya kita pahami bahwa penetapan harga secara eksplisit
tidak diperkenankan oleh Rasul. Sebab dengan penetapan harga akan memicu
ketidakadilan baru. Jika harga ditetapkan jauh lebih tinggi maka konsumen akan
dirugikan, sebaliknya jika harga ditetapkan sangat rendah, maka produsen yang
akan dirugikan. Bagi penulis, Hadist di atas dilatar belakangi oleh kondisi
harga yang dalam prespektif Rasul masih bisa di jangkau oleh masyarakat. Selain
itu, penetapan harga adalah sesuatu yang sensitif, sebab jika terjadi kesalahan
dalam menetapkan harga maka akan melahirkan ketidakadilan (dhalim/injustice)
baru dalam kehidupan masyarakat.
Pertanyaan yang
muncul kemudian adalah bagaimana jika harga komoditas tidak bisa terjangkau
oleh daya beli masyarakat. Dalam hal ini, jika kenaikan harga di pasar
diakibatkan oleh ulah para spekulan, sehingga menyebabkan instabilitas harga di
pasar, pemerintah sebagai institusi formal yang mempunyai tanggung jawab
menciptakan kesejahteraan umum, berhak melakukan intervensi harga ketika
terjadi suatu aktivitas yang dapat membahayakan bagi kehidupan masyarakat luas
dengan melakukan stabilisasi.
Dua hal yang
membolehkan pemerintah melakukan intervensi terhadap regulasi harga di pasar,
yaitu:
a)
Para pedagang tidak menjual barang dagangan tertentu (ihtikar/Monopoly’s
Rent-Seeking), padahal masyarakat sangat membutuhkannya, akibat ulah dari
sebagian pedagang tersebut, harga di pasar menjadi tidak stabil dan hal
tersebut dapat membahayakan kehidupan masyarakat luas dan mencegah terciptanya
masyarakat yang sejahtera. Dalam kondisi seperti itu pemerintah dapat melakukan
intervensi agar harga barang menjadi normal kembali.
b)
Sebagian pedagang melakukan praktek siyasah al ighraq atau banting
harga (dumping). Praktek banting harga dapat menimbulkan persaingan yang
tidak sehat serta dapat mengacaukan stabilitas harga di pasar. Dalam kondisi
seperti ini pemerintah mempunyai otoritas untuk memerintahkan para pedagang
tersebut agar menaikkan kembali harga barang sesuai dengan harga yang berlaku
di pasar.
1.1.
Dumping Respirokal
Analisis dumping tersebut memberikan kesan bahwa diskriminasi harga (price
discrimination) akan dapat meningkatkan perdagangan luar
negeri. Namun, bila ditelaah lebih jauh, akan tampak jelas bahwa kesan tersebut
tidak selamanya benar. Anggap saja ada dua perusahaan monopoli yang
masing-masing memproduksi barang yang sama, satu di dalam negeri dan satu lainnya
di luar negeri. Untuk menyederhanakan analisis ini, asumsikan bahwa kedua
perusahaan tersebut memiliki marginal cost yang sama. Anggap juga
terdapat beberapa biaya transportasi antara kedua pasar tersebut sehingga, jika
perusahaan itu mengenakan harga yang sama, tidak akan ada perdagangan.
Jika kita
memasukkan kemungkinan terjadinya praktik dumping, perdagangan dapat
saja tetap terjadi. Dalam hal ini, setiap perusahaan akan membatasi jumlah
barang yang akan dijual di pasar domestic, karena volume penjualan yang lebih
besar akan menurunkan harga yang telah ada di pasar domestic. Apabila mampu
menjual sejumlah kecil di pasar lain, perusahaan akan menambah keuntungannya
sekalipun harganyalebih rendah daripada yang ada di pasar domestic, karena efek
negative terhadap harga dari penjualan yang ada akan terkena pada perusahaan
lain, bukan perusahaan itu sendiri. Dengan demikian, setipa perusahaan memiliki
daya tarik untuk “menyerbu” pasar lain, menjual sejumlah kecil unit pada
tingkat harga yang lebih rendah daripada tingkat harga yang berlaku di pasar
domestic, akan tetapi tetap di atas marginal cost.
Apabila kedua
perusahaan tersebut melakukan hal ini, yang berarti terjadi reciprocal
dumping, hasilnya akan timbul perdagangan yang tidak memiliki perbedaan
harga suatu barang di kedua pasar, sekalipun terdapat biaya-biaya transportasi.
Bahkan lebih dari itu, secara khusus, akan terdapat dua jalur perdagangan dalam
produk yang sama. Sebagai contoh, sebuah pabrik semen di Negara A melakukan
ekspor ke Negara B dan, sebaliknya, pabrik semen di Negara B melakukan ekspor
ke Negara A. Sekalipun contoh tersebut terlihat ekstrem dan pada kenyataannya
jarang terjadi dalam dunia perdagangan internasional, hal ini menunjukkan bahwa
reciprocal dumping tidak dapat meningkatkan volume perdagangan, bahkan
merupakan perbuatan yang sia-sia.[1]
DAFTAR PUSTAKA
Karim, Adiwarman. 2003. Ekonomi Mikro Islam. Jakarta:
IIIT-Indonesia.
Karim, Abdurrahman. 2012. Sejarah
Pemikiran Ekonomi. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Abdur Rasul, Ali. 1980. al-Mabadi’
al- iqtishadiyyah fi al-Islam. Beirut: Dar al-Fikr al Arabi.
Abdurrahman Al Janidal, Hammad.
1406 H. Manahij al Bahitsin fi al Iqtishad Al-Islami. Riyadh: Syirkah al
Ubaikan li al Thaba’ah wa al Nasyr.
Al-Audi, Rifa’at. 1985. Min al
Turats: Al Iqtishad li Al-Muslimin. Makkah: Rabithah ‘Alam al Islami.
Yusuf, S. M. 1988. Economic Justice in Islam. New Delhi:
Kitab Bhavan.
[1]
Abdurrahman A. Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2012), Edisi Ketiga, hlm. 298-299.
[1]
http://mohammadsubhan.wordpress.com/2010/02/15/pemikiran-ekonomi-yahya-bin-umar-dalam-perspektif-ekonomi-modern/
[1]
Adiwarman A. Karim, Ekonomi Mikro Islam (Jakarta: IIIT-Indonesia, 2003),
Edisi 2, Cet. Ke-2, hlm. 266.
[2]
Ali Abdur Rasul, al-Mabadi’ al- iqtishadiyyah fi al-Islam (Beirut: Dar
al-Fikr al Arabi, 1980), Cet. Ke-2, hlm. 101.
[3]
S. M. Yusuf, Economic Justice in Islam (New Delhi: Kitab Bhavan, 1988),
hlm. 43.
[1]
Mengenai berabagi hal lain yang memenagaruhi keistimewaan pembahasan
hukum-hukum pasar dalam kitab ini, lihat Rifa’at al Audi, Min al Turats: al
Iqtishad li al-Muslimin (Makkah: Rabithah ‘Alam al Islami, 1985), Cet.
Ke-4, hlm.44-46.
[2]
Hammad bin Abdurrahman Al Janidal, Op. Cit., hlm.120
[3]
Ibid., hlm. 52.
[4]
Rifa’at al Audi, Op. Cit., hlm. 44.
[1]
Hammad bin Abdurrahman Al Janidal, Manahij al Bahitsin fi al Iqtishad al-Islami
(Riyadh: Syirkah al Ubaikan li al Thaba’ah wa al Nasyr, 1406 H.)hlm. 118.
nice
BalasHapus