Sabtu, 25 Februari 2023

PENGERTIAN TASAWUF

 

TASAWUF

A.    Karakteristik Umum

Tasawuf secara umum adalah falsafah hidup dan cara tertentu dalam tingkah laku manusia dalam upaya merealisasikan kesempurnaan moral, pemahaman tentang hakikat realitas dan kebahagiaan rohaniah (Abul Wafa’ al-Taftazani, Madkhal Ila Tasawwuf Al-Islami, Dar al-Saqafah li al-Tiba’ah wa al-Nasyr, Cairo, 1979, hlm.3).

B.     Pengertian Tasawuf Secara Etimologi

Secara etimologis, para ahli berselisih tentang asal kata tasawuf, antara lain :

·         Shuffah ( serambi tempat duduk ), yakni serambi masjid nabawi di Madinah yang disediakan untuk orang-orang yang belum mempunyai tempat tinggal dan kalangan Muhajirin di masa Rasulullah SAW. Mereka biasa dipanggil ahli shuffah (pemilik serambi) karena di serambi masjid itulah mereka bernaung.

·         Shaf ( barisan ), karena kaum shufi mempunyai iman kuat, jiwa bersih, ikhlas, dan senantiasa memilih barisan yang paling depan dalam sholat berjamaah atau dalam perang suci.

·         Shafa:bersih atau jernih.

·         Shufanah : Sebutan nama kayu yang bertahan tumbuh di padang pasir.

·         Shuf (bulu domba), disebabkan karena kaum sufi biasa menggunakan pakaian dari bulu domba yang kasar, sebagai lambang akan kerendahan hati mereka, juga menghindari sikap sombong, serta meninggalkan usaha-usaha yang bersifat duniawi. Orang yang berpakaian bulu domba disebut “ mutashawwif ”, sedangakan perilakunya disebut “ tasawuf ”.

·         Theosofi : Ilmu ketuhanan. Tetapi yang terakhir ini tidak disetujui oleh H.A.R.Gibb. Dia cenderung kata tasawuf berasal dari Shuf (bulu domba).

 

C.     Pengertian Tasawuf Secara Terminologi

     Sedangkan menurut terminologis pun, tasawuf diartikan secara variatif oleh para ahli sufi, antara lain yaitu :

Imam Junaid dari Baghdad (m. 910), mendefinisikan tasawuf sebagai “mengambil setiap    sifat mulia dan meninggalkan setiap sifat rendah”.


      Syekh Abul Hasan asy-Syadzili (m. 1258) syekh sufi besar dari Afrika Utara, mendefinisikan tasawuf sebagai “praktik dan latihan diri melalui cinta yang dalam dan ibadah untuk mengembalikan diri kepada jalan Tuhan” 3).

      Sahal al-Tustury (w 245) mendefinisikan tasawuf dengan “ orang yang hatinya jernih dari kotoran, penuh pemikiran, terputus hubungan dengan manusia, dan memandang antara emas dan kerikil” 4).

      Syeikh Ahmad Zorruq (m. 1494) dari Maroko mendefinisikan tasawuf sebagai berikut :
“Ilmu yang denganya anda dapat memperbaiki hati dan menjadikannya semata-mata bagi Allah, dengan menggunakan pengetahuan anda tentang jalan islam, khususnya fiqih dan pengetahuan yang berkaitan, untuk memperbaiki amal anda dan menjaganya dalam batas-batas syariat islam agar kebijaksanaan menjadi nyata”.

      Syekh  Muhammad Al Kurdi yaitu ilmu yang dengannya dapat diketahui hal ihwal(perbuatan)kebaikan dan keburukan jiwa dengan cara membersihkan sifat-sifat yang buruk dan mengisinya dengan sifat-sifat yang baik.

      Imam Ghozali-Abu Bakar yaitu budi pekerti, barang siapa yang member budi pekerti atasmu,berarti ia memberikan bekal dalam dirimu dalam bertasawuf.

      Muhammad An Nawawi – Al Junaid Al Baghdadi yaitu memelihara atau menggunakan waktu.Seorang hamba tidak akan menekuni (tasawuf) tanpa aturan ,tidak tepat ibadahnya tanpa tertuju pada TuhanNya dan merasa tidak berhubungan tanpa menggunakan waktu.

      As Suhrawardi ,tasawuf yaitu mencari hakikat dan meninggalkan sesuatu yang ada di tangan makhluk (kesenangan dunia).

      Radim bin Ahmad Al Baghdadi yaitu faqr,rela berkorban dan rela meninggalkan kebathilan (ghurur).

      Abu Yazid Al Bustami yaitu kondisi di mana seseorang mengencangkan ikat pinggangnya(karena menahan lapar) dan pengekangan erhadap syahwat dunia sesaat dan mementingkan kepentingan pribadi kepada Alloh dengan mencurahkan secara totalitas kepadaNya.

      Abu Wafa’ Al Taftazani yaitu pandangan filosofis kehidupan untuk mengembangkan moral jiwa yang dapat direalisasikan dengan latihan praktis.

     Ma’ruf al-Karkhi,tasawuf ialah mengambil hakikat dan putus asa terhadap apa yang ada ditangan makhluk, maka siapa yang tidak benar-benar fakir, dia tidak benar-benar bertasawuf

     Abu Turab al-Nakhsabi,sufi adalah orang yang tidak ada sesuatu apapun mengotori dirinya dan dapat membersihkan segala sesuatu

     Zu al-Nun al-Misri,sufi adalah orang ynag tidak suka meminta dan tidak merasa susah karena ketiadaan

    Al-Mujahadah, yaitu definisi yang membicarakan tentang pengalaman yang menyangkut kesungguhan dan kegiatan

     Abu al-Husain al-Nuri,tasawuf bukanlah wawasan atau ilmu, tetapi akhlak. Karena seandainya wawasan, maka ia dapat dicapai hanya dnegan kesungguhan, dan seandainya ilmu, ia akan dapat dicapai dengan belajar, akan tetapi tasawuf hanya dapat dicapai dengan berakhlak dengan akhlak Allah, dan engkau tidak akan mamapu menerima akhlak ke-Tuhanan hanya dengan wawasan dan ilmu.

    Sahl ibn Abdillah al-Tustari,tasawuf ialah sedikit makan, tenang dengan Allah dan menjauhi manusia.

    Abu Muhammad Ruwaim,tasawuf terdiri dari tiga perangai: berpegang kepada kefakiran dan mengharap Allah, merendahkan diri dan mendahulukan ornag lain dengan tidak menonjolkan diri, dan dengan meninggalkan usaha.

    Al-Mazaqah, yaitu definisi yang membicarakan pengalaman dari segi perasaan.

    Al-Junaidi al-Bagdadi,tasawuf ialahbahwa engkau bersama Allah tanpa ada penghubung.

    Abu Bakral-Syibli,orang-orang sufi adalah anak-anak kecil di pangkuan Tuhan

    Al-Ghazaly di dalam kitab Ihya ‘Ulumuddin menukilkan beberapa pendapat tentang definisi Tasawuf yaitu:

    Ilmu Tasawuf ialah pengetahuan tentang ikhlas, dan menjauhi hal-hal yang merusak jiwa, cara membedakan bisikan Malaikat dan bisikan syaitan iblis.

    Ilmu Tasawuf ialah pengetahuan tentang hal diri dan tingkatan kita dalal mendekatkan diri kepada Tuhan.

    Ilmu Tasawuf ialah ilmu batin yang hanya menjadi tugas golonga tertentu yang ahli dalam ilmu itu dan buka untuk umum.

    Abu Thalib Al-Makky berkata: “Tasawuf ialah ilmu tentang kandunagan Al-Qur’an dan Hadist yang menjadi dasar Islam.


Dengan demikian dapat disimpulkan secara sederhana, bahwa tasawuf itu adalah suatu sistem latihan dengan kesungguhan (riyadlah-mujahadah) untuk membersihkan, mempertinggi, dan memperdalam kerohanian dalam rangka mendekatkan (taqarrub) kepada Allah, sehingga dengan itu maka segala konsentrasi seseorang hanya tertuju kepada-Nya.

Dengan pengertian seperti itu, maka dapat dikatakan bahwa tasawuf adalah bagian ajaran Islam, karena ia membina akhlak manusia (sebagaimana Islam juga diturunkan dalam rangka membina akhlak umat manusia) di atas bumi ini, agar tercapai kebahagaan dan kesempurnaan hidup lahir dan batin, dunia dan akhirat. Oleh karena itu, siapapun boleh menyandang predikat mutasawwif sepanjang berbudi pekerti tinggi, sanggup menderita lapar dan dahaga, bila memperoleh rizki tidak lekat di dalam hatinya, dan begitu seterusnya yang pada pokoknya sifat-sifat mulia, dan terhindar dari sifat-sifat tercela.

 

 

NASAKH DAN MANSUKH ULUMUL QURAN


BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Tujuan diturunkannya syariat oleh Allah kepada para rasul-Nya ialah untuk memperbaiki umat di bidang akidah, ibadah dan mu’amalah. Tentang bidang ibadah dan mu’amalah, prinsip dasar umumnya adalah sama, yaitu bertujuan membersihkan jiwa dan memelihara keselamatan masyarakat serta mengikatnya dengan ikatan kerjasama dan persaudaraan. Walaupun demikian, tuntutan kebutuhan setiap umat terkadang berbeda satu dengan yang lain. Apa yang cocok untuk satu kaum pada suatu masa mungkin tidak cocok lagi pada masa yang lain.

Di samping itu, perjalanan dakwah pada taraf pertumbuhan dan pembentukan tidak sama dengan perjalanannya sesudah memasuki era perkembangan dan pembangunan. Oleh karena itu, wajarlah jika Allah menghapuskan suatu syariat dengan syariat lain untuk menjaga kepentingan para hamba berdasarkan pada pengetahuan-Nya yang azali tentang pertama dan yang kemudian.

B.     Rumusan Masalah

 

1.      Apa pengertian dari Nasakh dan Mansukh dalam Al Quran ?

2.      Apa pedoman mengetahui Nasakh dan manfaatnya ?

3.      Apa saja macam-macam Naskh dalam Al Quran ?

4.      Sebutkan beberapa contoh Nasakh !

 

C.    Tujuan Masalah

 

1.      Mengetahui pengertian Nasakh dan Mansukh dalam Al Quran

2.      Mengetahui bagaimana manfaat dan pedoman mengetahui Nasakh

3.      Mengetahui macam-macam Nasakh dalam Al Quran

4.      Mengetahui beberapa contoh Nasakh

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

A.    Pengertian Nasakh dan Mansukh

1)       Pengertian Nasakh secara Etimologi (Bahasa)

Terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai makna nasakh secara etimologi. Karena memang kata tersebut memiliki makna yang lébih dari satu. Nasakh dapat berarti  menghilangkan atau meniadakan. Dalam Al -Quran menyatakan

...فينسخ الله مَايلقى الشيطن ثُمَّ يحكم الله ايته,وَالله عَلِيْمٌ حَكِيْم.(52)

“Kemudian Allah meniadakan atau menghilangkan apa yang dimasukkan oleh setan, lalu Allah memperkuat ayat-ayat-Nya. Allah Maha Mengetahui dan Maha bijaksana.”(QS.Al-Hajj: 52).

Kata nasakh juga berarti artinya pengalihan. Seperti pengalihan bagian harta warisan. Maksudnya perpindahan harta warisan dan seseorang kepada orang lain.Kata nasakh juga berarti mengganti atau menukar sesuatu dengan yang lain.Ini dapat kita lihat pada ayat:

وَإِذَابَدَّلْنَــا ايَةً مَّكَـان ايَةٍ....(1.1)

“Dan jika Kami gantikan sebuah ayat dengan ayat yang lain....” (QS.Al-Nahl: 101)

       2)    Nasakh secara Terminologi (Istilah)

Secara terminologi nasakh dapat dikategorikan pada dua kategori, yaitu kategori menurut ulama Mutaqaddimin dan ulama Mutaakhirin.

a. Mutaqaddimin

 Menurut ulama mutaqaddimin, nasakh adalah mengangkat hukum syar‘i (menghapuskan) hukum syara’ dengan dalil hukum (kitab) syara’ yang lain.Misalnya, dikeluarkannya hukum syar’i dengan berdasarkan kitab syara’dari seseorang karena dia mati atau gila[1]. Contoh tentang waris, di mana hukum waris dinasakhkan oleh hukum wasiat ibu bapak dan karib kerabat.Ayat tersebut dinasakhkan oleh Surah Al Baqarah ayat 180 yang berbunyi:

كُتِبَ عَلَيْكُمْ إِذَاحَضَرَأَحَدَكُمُ الْمَوْتُ إِنْ تَرَكَ خَيْرًا الْوَصِيَّةُ لِلْوَالِدَيْنِ وَالْاَقْرَبِيْنَ بِالْمَعْرُوْف. حَقا عَلــى الْمُتَّقِيْن

Ayat-ayat seperti tersebut di atas kadang-kadang oleh ulama mutaqaddimin disebut juga dengan takhsis. Dengan demikian tampak dengan gamblang bahwa ulama mutaqaddimin memberikan batasan pengertian bahwa nasakh adalah sebagai dalil syar’ i yang ditetapkan kemudian. Jadi tidak hanya bagi ketentuan hukum yang mencabut dan membatalkan ketentuan (hukum) yang sudah berlaku sebelumnya atau merubah ketentuan hukum yang sudah dinyatakan pertama berakhir masa berlakunya, sejauh hukum tersebut tidak dinyatakan berlaku terus-menerus.[2]

Pengertian nasakh menurut kelompok ini mencakup pengertian pembatasan (qayyad) terhadap pengertian bebas (muta ‘allaq), pengkhususan terhadap yang umum, pengecualian, syarat, dan sifat. ini berlaku mulai abad kesatu sampai abad ketiga Hijriah.

Ada di antara mereka yang beranggapan bahwa suatu ketetapan hukum yang ditetapkan oleh suatu kondisi tertentu telah menjadi mansukh apabila ada ketentuan lain akibat adanya kondisi lain, misalnya”perintah bersabaruntuk menahan diri pada periode Mekah di saat kaum muslim lemah dianggap telah nasakh ôléh perintah atau izin berperang pada periode Madinah”, sebagaimana ayat yang beranggapan bahwa ketetapan hukum Islam yang membatalkan hukum yang berlaku pada masa pra-Islam merupakan bagian dan pengertian nasakh. Imam Zarqoni mengartikan : Mengangkat (mengganti) hukum syara’ dengan dalil syara.[3]

b. Mutaakhirin

Pengertian yang begitu luas kemudian dipersempit oleh ulama yang datang kemudian. Pengertian nasakh menurut utma mutaakhirin di antaranya adalah sebagaimana diungkapkan Quraish Shihab: “Nasakh terbatas pada ketentuan hukum yang datang kemudian, guna membatalkan, mencabut atau menyatakan berakhirnya pemberlakuan hukum yang terdahulu, hingga ketentuan hukum yang ada yang ditetapkan terakhir”.

3)        Pengertian Mansukh

Mansukh adalah suatu hukum yang diangkat atau yang dihapuskan. Maka ayat mawarits (warisan) atau hukum yang terkandung di dalamnya, misalnya menghapuskan (Nasakh) hukum wasiat kepada kedua orang tua atau kerabat (mansukh) sebagaiman akan dijelaskan.

Syarat-syarat Nasakh  sebagai berikut :

·         Hukum yang mansukh adalah hukum syara’.

·         Dalil penghapusan hukum tersebut adalah kitab syar’ i yang tentang lebih kemudian dari kitab yang   hukumnya mansukh.

·         Kitab yang mansukh hukumnya tidak dibatasi dengan waktu tertentu.

 

B.     Hal-hal yang Mengalami Nasakh

Nasakh hanya terjadi pada hal-hal yang bersifat perintah dan larangan, baik yang diungkapkan dengan tegas dan jelas maupun yang diungkapkan dengan kalimat khabar (berita) yang bermakna amr(perintah) atau nahy (larangan), jika hal tersebut tidak berhubungan dengan persoalan akidah, yang berhubungan dengan Dzat Allah, sifat-sifatNya, kitab-kitabNya, para rasulNya dan hari kemudian, juga tidak berkaitan dengan etika dan akhlak atau dengan pokok-pokok ibadah dan muamalah. Hal ini karena semua syariat Ilahi tidak lepas dari pokok-pokok tersebut. Dalam masalah prinsip semua syariat adalah sama.[4] Allah berfirman,

شَرَعَ لَكُمْ مِنَ الدِّيْنِ مَا وَصّبِي بِه  نُوْحًا وَالَّذِيْ أَوْحَيْنا إِلَيْكَ وَمَا وَصَّيْنَا بِه إِبْرَاهِيْمَ وَمُوْسَي وَعِيْسي أَنْ أَقِيْمُوْاالدِّيْنَ وَلَا تَتَفَرَّقُوْا فِيْــه

“Dia telah mensyariatkan bagi kamu tentang agama apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa, Isa, yaitu : Tegakkanlah agama dan jaganlah kamu berpecah belah tentangnya.” (As Syura: 13)

C.    Dasar-dasar Penetapan Nasakh, Mansukh dan Manfaatnya

Pengetahuan tenatng nasakh dan mansukh mempunyai fungsi dan manfaat besar bagi para ulama, terutama para fuqoha’, musafir, dan ahli ushul fiqh, agar pengetahuan tentang hukum tidak menjadi kabur. Oleh sebab itu, terdapat atsar yang mendorong agar mengetahui masalah ini. Seperti yang diriwayatkan, Ali pada suatu hari melewati seorang hakim lalu bertanya:”apakah kamu mengetahui nasakh dari mansukh?”tidak,”jawab hakim itu. Maka kata Ali,”celakalah kamu dan kamupun akan mencelakakan orang lain.

Manna’ Al Qaththan menetapkan tiga dasar untuk menegaskan bahwa suatu ayat dikatakan nasikh dan mansukh,ketiga dasar tersebut adalah:

1.      Melalui pentransmisian yang jelas (an-naql ash-sharih) dari Nabi atau para sahabatnya, seperti hadist yang berbunyi, 

        كُنْتُ نَهَيْتُكُم عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُوْرِ أَلَا فَزُوْرُوهَا

(Aku dulu melarang kalian untuk berziarah kubur, (sekarang) berziarahlah).

2.      Melalui kesepakatan umat (ijma’) bahwa ayat ini nasikh dan ayat itu mansukh.

3.      Melalui studi sejarah, ayat mana yang lebih belakang turun, sehingga disebut nasikh, dan ayat mana yang lebih dahulu turun, sehingga disebut mansukh.

Nasakh tidak dapat ditetapkan berdasarkan pada ijtihad, pendapat mufassir atau kontradiksi dalil-dalil secara lahiriah, atau terlambatnya keislaman salah seorang dari seorang perawi.

D.    Pendapat tentang Nasakh dan Dalil Ketetapannya

Dalam masalah nasakh, para ulama terbagi atas empat golongan[5], yakni:

1)      Orang Yahudi. Mereka tidak mengakui adanya Naskh, karena menurutnya, naskh mengandung al-bada’, yakni nampak jelas setelah kabur (tidak jelas). Maksudnya adalah naskh itu adakalanya tanpa hikmah, dan ini mustahil bagi Allah. Dan adakalanya karena sesuatu hikmah yang sebelumnya tidak tampak. Ini berarti terdapat suatu kejelasan yang didahului oleh ketidakjelasan. Dan inipun mustahil bagi-Nya. Cara berdalil mereka tidak dapat dibenarkan, sebab masing-masing hikmah nasikh dan mansukh telah diketahui Allah lebih dahulu. Jadi pengetahuan-Nya tentang hikmah tersebut bukan hal yang baru muncul. Ia membawa hamba-hamba-Nya dari satu hukum ke hukum yang lain adalah karena suatu maslahat yang telah diketahui-Nya jauh sebelum itu, sesuai dengan hikmah dan kekuasaan-Nya yang absolut terhadap segala milik-Nya.

2)      Orang Syi’ah Rafidah. Mereka sangat berlebihan dalam menetapkan naskh dan meluaskannya. Mereka memandang konsep al-bada’ sebagai suatu hal yang mungkin terjadi pada Allah. Dengan demikian, maka posisi mereka sangat kontradiksi dengan orang yahudi. Untuk mendukung pendapatnya itu mereka mengajukan argumentasi denag ucapan-ucapan yang mereka nisbahkan kepada Ali r.a secara dusta dan palsu.

3)      Abu Muslim Al-Asfahani. Menurutnya, secara logika naskh dapat saja terjadi, tetapi tidak mungkin terjadi menurut syara’. Dikatakan pula bahwa ia menolak sepenuhnya terjadi naskh dalam Al Quran berdasarkan firman-Nya:

لَايَأْتِيْهِ الْبَاطِلُ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَلَامِنْ خَلْفِهِ تَنْزِيْلٌ مِّنْ حَكِيْمٍ حَمِيْدٍ (42)

“Yang tidak dating kepadanya (Quran) kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari sisi Tuhan Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji.”(Fussilat : 42)

4)      Jumhur Ulama. Mereka berpendapat, naskh adalah suatu hal yang dapat diterima akal dan telah terjadi dalam hukum-hukum syara’, berdasarkan dalili-dalil :

a.       Perbuatan-perbuatan Allah tidak bergantung pada alas an dan tujuan. Ia boleh saja memerintahkan sesuatu pada suatu waktu dan melarangnya pada waktu yang lain. Karena hanya Dialah yang lebih mengetahui kepentingan hamba-hamba-Nya.

b.      Nas-nas Kitab dan Sunnah menunjukkan kebolehan naskh dan terjadinya, antar a lain :

·         Firman Allah :

وَإِذَابَدَّلْنا ايَةً مَّكَانَ ايَةٍ...

“Dan apabila Kami mengganti suatu ayat di tempat ayat yang lain…”(An Nahl : 101)

مَا نَنْسَخْ مِنْ ايَةٍ أَوْنُنْسِهَا نَأْتِ بِخَيْرٍمِّنْهَا أَوْمِثْلِهَا..

“Apa saja ayat yang Kami nasakhkan, atau kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik atau yang sebanding dengannya.”(Al Baqarah : 106)

·         Dalam sebuah hadist sahih, dari Ibnu Abbas r.a., Umar r.a., berkata : “Yang paling paham dan menguasai Quran di antara kami adalah Ubai. Namun demikian kamipun meninggalkan sebagian perkataannya, karena ia mengatakan : “Aku tidak akan meninggalkan sedikitpun segala apa yang pernah aku dengar dari Rasulullah s.a.w., padahal Allah telah berfirman :” Apa saja ayat yang Kami nasakhkan, atau kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik atau yang sebanding dengannya.”(Al Baqarah : 106)

 

E.     Pembagian Nasakh dalam Al Quran

1)      Nasakh Al Quran dengan Al Quran bagian ini disepakati kebolehannya dan telah terjadi dalam pandangan mereka yang mengatakn adanya nasakh. Misalnya ayat tentang iddah 4 bulan 10 hari.

2)      Nasakh Al Quran dengan As Sunnah, nasakh ini ada 2 macam, yakni:

a.       Nasakh Al Quran dengan hadist ahad. Jumhur ulama berpendapat bahwa Al Quran tidak boleh di nasakh oleh hadist ahad, sebab Al Quran adalah mutawattir dan menunjukkan keyakinan, sedang hadits ahad ini dzanni (bersifat dugaan), disamping tidak sah pula menghapuskan sesuatu yang maklum (jelas diketahui) denganyang maznun(di duga).

b.      Nasakh Al Quran dengan hadits mutawattir nasakh semacam ini dibolehkan oleh Imam Malik, Abu Hanifah dan Imam Ahmad dalm satu riwayat sebab masing-masing keduanya dalah wahyu. Allah berfirman:

وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوى. إِنْ هُوَ إِلّاوَحْيٌ يُّوْحي (النجم: 3-4)

“Dan tiadalah yang diucapkan itu menurut kemauan hawa nafsu. Ucapannya itu tiada lain adalah wahyu yang di wahyukan(kepadanya).”(An-Najm:3-4)

3)      Nasakh As Sunnah dengan Al Quran, ini dibolehkan oleh jumhur ulama sebagai contoh ialah masalah mengahadap ke Baitul Maqdis yang di tetapkan dengan As Sunnah dan di dalam Al Quran tidak terdapat dalil yang menunjukkannya. Ketetapan ini dinasakhkan oleh Al Quran dengan firmannya:”Maka palingkanlah muka kamu kea rah masjidil haram.(Al Baqoroh :144)

4)      Nasakh Sunnah dengan Sunnah, dalam kategori ini terdapat 4 bentuk, yakni:

a.       Nasakh mutawattir dengan mutawattir

b.      Nasakh ahad dengan ahad

c.       Nasakh ahad dengan mutawattir

d.      Nasakh mutawattir dengan ahad

Tiga bentuk pertama diperbolehkan, sedang pada bentuk ke 4 terjadi silang pendapat seperti halnya nasakh Al Quran dengan hadist ahad yang tidak dibolehkan jumhur Ulama.[6]

 

F.     Macam-macam Nasakh dalam Al Quran

Nasakh dalam Al Quran ada tiga, yakni:

1.      Nasakh bacaan dan hukum. Misalnya apa yang diriwayatkan oleh Imam Muslimdan yang lain, dari Aisyah R.A, ia berkata “ Di antara yang diturunkan pada beliau adalah bahwa sepuluh susunan yang diketahui itu menyebabkan pemahraman, kemudian di nasakh oleh lima susunan yang diketahui. Ketika Rasulullah SAW wafat,lima susunan ini termasuk ayat Al Quran yang dibaca. “Ucapan Aisyah R.A” Lima susunan ini termasuk ayat Al Quran yang dibaca secara dhohir menunjukkan bahwa bacaannya masih tetap ada. Tetapi tidak demikian halnya, karena ia tik terdapat dalam mushaf utsmani. Ksimpulan ini dijawab, bahwa yang dimaksud dengan perkataan Aisyah R.A, tersebut ialah ketika beliau menjelang wafat.

2.      Nasakh hukum, sedang tilawahnya tetap. Misalnya nasakh hukum ayat iddah selama satu tahun, sedang tilawahnya tetap. Mengenai nasakh macam ini banyak dikarang kitab-kitab yang didalamnya para pengarang menyebutkan bermacam-macam ayat. Padahal setelah diteliti, ayat-ayat seperti itu hanya sedikit jumlahnya, sebagaimana dijelaskan Qadi Abu Bakar ibnul ‘Arabi.

3.      Nasakh tilawah sedang hukumnya tetap. Untuk macam ini mereka mengemukakan sejumlah contoh, diantaranya rejam ini: Orang tua laki-laki dan perempuan apabila keduanya berzina, maka rejamlah keduanya itu dengan pasti sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi maha Bijaksana.

G.    Hikmah Keberadaan Nasikh

1.      Menjaga kemaslahatan hamba.

2.      Mengembangkan persyariatan hukum sampai pada tingkat kesempurnaan, seiring dengan perkembangan dakwah dan kondisi manusia itu sendiri.

3.      Menguji kualitas keimanan mukallaf  dengan cara adanya suruhan yang kemudian dihapus.

4.      Merupakan kebaikan dan kemudahan bagi umat. Apabila ketentuan nasikh lebih berat daripada ketentuan mansukh, berarti mengandung konsekuensi pertambahan pahala. Sebaiknya, jika ketentuan dalam nasikh lebih mudah daripada ketentuan mansukh, itu berarti kemudahan bagi umat.

H.    Contoh-Contoh Naskh

As Suyuti menyebutkan dalam al Itqan sebanyak 21 ayat yang dipandangnya sebagai ayat-ayat mansukh.

§  Firman Allah :

وَلِلهِ مَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ فَأيْنَمَا تُوَلُّوْافَثَمَّ وَجْهُ اللهِ...

“Dan kepunyaan Allahlah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah.”(Al Baqarah : 115) di nasakh oleh:

فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَالْمَسْجِدِالْحَرَامِ...

“Maka palingkanlah mukamu kea rah Masjidil Haram.”(Al Baqarah : 144)

Telah dikatakan inilah ayat yang benar, bahwa ayat pertama tidak di nasakh sebab ia berkenaan dengan shalat sunnah saat dalam perjalanan yang dilakukan di atas kendaraan, juga dalam keadaan takut dan darurat. Dengan demikian, hukum ayat ini tetap berlaku, sebagaimana dijelaskan dalam as-Sahihain. Sedang ayat kedua berkenaan dengan shalat fardu lima waktu. Dan yang benar, ayat kedua ini menasakh perintah menghadap ke Baitul Maqdis yang ditetapkan dalam sunnah.[7]

§  Firman Allah :

كُتِبَ عَلَيْكُمْ إِذَاحَضَرَأَحَدَكُمُ الْمَوْتُ إِنْ تَرَكَ خَيْرًا الْوَصِيَّةُ لِلْوَالِدَيْنِ وَالْأقْرَبِيْنَ..

“Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya….”(Al Baqarah :180). Dikatakan, ayat ini mansukh oleh ayat tentang kewarisan dan oleh hadis, “ Sesungguhnya Allah telah memberikan kepada setiap orang yang mempunyai hak akan haknya, maka tidak ada wasiat bagi ahli waris.”

§  Firman Allah :

وَالَّذِيْنَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَ رُوْنَ أَزْوَاجًاوَّصِيَّةً لِأَزْوَاجِهِمْ مَّتَاعًا إِلَى اْلحَوْلِ غَيْرَإِخْرَاجٍ

“Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kamu dan meniggalkan istri, hendaklah berwasiat untuk istri-istrinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya denagn tidak disuruh pindah (dari rumahnya)…”(Al Baqarah : 240) Ayat ini dinasakh oleh :

وَالَّذِيْنَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَ رُوْنَ أَزْوَاجًايَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍوَعَشْرًا

“Dan orang-orang yang meninggal dunia di antara kamu dengan meninggalkan istri-istri (hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya (ber’iddah) empat bulan sepuluh hari.” (Al Baqarah : 234).

Ada yang berpendapat, ayat pertama muhkam, sebab ia berkaitan dengan pemberian wasiat bagi istri jika istri itu tidak keluar dari rumah suami dan tidak kawin lagi. Sedang ayat kedua berkenaan dengan masalah ‘iddah. Dengan demikian maka tidak ada pertentangan antara ayat itu.[8]

 

 

 

 

 

 

BAB III

PENUTUP

A.    Kesimpulan

Ø  Nasakh adalah sesuatu yang membatalkan, menghapuskan atau memindahkan.

Ø  Mansukh adalah yang dibatalkan, dihapus, dipindahkan

Ø  Para ulama sepakat adanya nasikh berdasarkan nash Al Qur’an dan sunnah

Ø  Syari’at selalu memelihara kemaslahatan ummat, oleh karena itu nasikh itu mesti    ada dan terjadi pada sebagian hokum – hokum.

Ø  Nasikh itu terjadi pada berita – berita, tetapi terjadi pada hukum – hukum yang berhubungan dengan halal dan haram

Ø  Hukum – hukum itu bersumber dari Allah yang disyari’atkan demi kemaslahatan dan kebahagiaan manusia’

Ø  Menyimpang dari jalan yang lurus dan mengikuti jejak orang – orang yang sesat akan menjadi penyebab kesengsaraan.

B.     Saran

Kepada para mahasiswa khusunya jurusan Ekonomi Syari’ah yang menbaca dengan adanya makalah ini bisa mengetahui bagaimana ayat-ayat nasakh dan mansukh dalam Al Quran.

 

 

 

 

                  

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Al Qattan, Manna’ Khalil. 2004. Studi Ilmu-Ilmu Al Quran. Bogor : Pustaka Litera AntarNusa.

Al Qattan, Manna’ Khalil. 2006. Pengantar Studi Ilmu Al Quran. Jakarta Timur : Pustaka Al Kautsar.

Chirzin, Muhammad. 2006. Al Quran dan Ulumul Quran. Bandung : PT Pustaka Jaya.

Anwar, Rosihan. 2004. Ulumul Quran. Bandung : CV Pustaka Setia.

Anwar, Abu. 1999. ULUMUL QUR’AN, Bandung : Pustaka Prima.

 

 



[1] Drs.Muhammad Chirzin , M.Ag, AL QUR’AN DAN ULUMUL QUR’AN, (Bandung : PT Pustaka Jaya, 2006)

[2] Drs.Muhammad Chirzin , M.Ag, AL QUR’AN DAN ULUMUL QUR’AN,(Bandung : PT Pustaka Jaya, 2006) hlm.78.

[3] Drs.Abu Anwar , M.Ag, ULUMUL QUR’AN, (Bandung : Pustaka Prima, 1999) hlm.63.

[4] Manna’ Khalil Al Qattan. Pengantar Studi Ilmu Al Quran. (Jakarta Timur : Pustaka Al Kautsar, 2006) hlm. 286-287.

 

[5] Manna’ Khalil Al Qattan. Studi Ilmu-Ilmu Al Quran. (Bogor : Pustaka Litera AntarNusa, 2004) hlm. 330-333.

 

[6] Manna’ Khalil Al Qattan. Pengantar Studi Ilmu Al Quran. (Jakarta Timur : Pustaka Al Kautsar, 2006) hlm. 292-293.

[7] Manna’ Khalil Al Qattan. Studi Ilmu-Ilmu Al Quran. (Bogor : Pustaka Litera AntarNusa, 2004) hlm. 344.

[8] Manna’ Khalil Al Qattan. Studi Ilmu-Ilmu Al Quran. (Bogor : Pustaka Litera AntarNusa, 2004) hlm. 347.