BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Dalam
menjalani kehidupan ini, manusia tidak dapat hidup secara sendiri- sendiri
tanpa bantuan orang lain. Dikarenakan keterbatasan seseorang tersebut dalam
memenuhi kebutuhan hidupnya. Islam telah memberikan tuntunan dan aturan, serta
memberikan kemudahan bagi umatnya untuk menjalani kehidupan di dunia ini dalam
rangka pengabdiannya kepada Allah SWT.
Ulama telah
membagi disiplin ilmu dari ajaran Islam. Salah satu disiplin ilmu yang tercetus
adalah ilmu fiqh yang berbicara panjang lebar dan terinci khusus tentang
kehidupan manusia. Salah satunya adalah wadi’ah yang merupakan
bentuk dari kegiatan hubungan antara manusia yang dikenal dengan al-Wadiah.
Al- wadi’ah adalah salah bentuk saling tolong- menolong antara manusia
dengan jalan pemberian amanah suatu barang dari satu pihak kepada pihak lain
untuk menjaga barang tersebut, atau sering disebut dengan titipan.
Seiring dengan bermunculannya lembaga-lembaga penitipan barang dapat
sedikit membantu ketika seorang ingin menitipkan barangnya dalam waktu yang
cukup lama, mereka tidak khawatir dengan keadaan keadaan barang yang
ditinggalkannya itu, sebab dalam lembaga tersebut telah menjamin akan keaslian
barangnya. Dewasa ini, praktek wadi’ah telah diterapkan di dalam
perbankan syari’ah. Umat Islam tidak perlu khawatir dalam menggunakan jasa Wadi’ah
di dalam perbankan syari’ah.
B. Rumusan Masalah
1.
Apa definisi wadi’ah dan dasar hukumnya?
2.
Apakah syarat dan rukun wadi’ah?
3.
Bagaimana hukum menerima wadi’ah?
4.
Sebutkan macam-macam wadi’ah!
5.
Bagaimana penerapan wadi’ah dalam
perbankan syari’ah?
6.
Bagaimana fatwa DSN tentang wadi’ah?
C.
Tujuan
Pembahasan
1.
Mengetahui dan memahami definisi wadi’ah,
dasar-dasar hukumnya, syarat, dan rukun-rukun wadi’ah
2.
Mengetahui bagaimana hukum menerima barang wadi’ah
3.
Mengetahui macam-macam wadi’ah
4.
Mengetahui penerapan wadi’ah
dalam perbankan syari’ah
5.
Mengetahui bagaimana fatwa DSN
tentang wadi’ah
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian dan
Dasar Hukum Wadi’ah
a.
Secara Etimologi
Secara
etimologi wadi’ah ( الودعة) berartikan titipan
(amanah). Kata Al-wadi’ah berasal dari kata wada’a (wada’a – yada’u –
wad’aan) juga berarti membiarkan atau meninggalkan sesuatu.[1]
Sehingga secara sederhana wadi’ah adalah sesuatu yang dititipkan.
b. Secara
Terminology
Secara terminology atau definisi istilah
menurut mazhab Hanafi, Maliki dan Hambali. Ada dua definisi wadi’ah yang dikemukakan ulama
fiqh:
Ulama mazhab hanafi mendefinisikannya:
تسليط الغير على حفظ
ماله صريحا أ و دلا لة
“mengikutsertakan orang lain dalam memelihara harta, baik dengan uangkapan yang jelas maupun melalui
isyarat”.[2]
Umpama seraoang mengatakan: “saya titpkan tas saya
ini pada anda”. Lalu dijawab “saya terima”. Dengan demikian, sempurnalah akad wadi’ah.
Mungkin juga dengan cara: “saya titipak tas saya ini pada anda” tetapi orang
yang dititipi diam saja (tanda setuju). Mazhab Syafi’i, Maliki dan Hambali (jumhur ulama)
mendefinisikannya:
تو كيل في حفظ مملوك
على وجه مخصوص
“mewakilkan
orang lain untuk memelihara harata tertentu dengan cara tertentu”.[3]
c. Menurut istilah wadi’ah dapat
diartikan sebagai akad yang dilakukan oleh kedua belah pihak orang yang
menitipkan barang kepada orang lain agar dijaga dengan baik.
d. Di dalam ensiklopedi hokum islam mengenai wadi’ah
secara bahasa bias dimaknai meninggalkan
atau meletakkan, yaitu meninggalkan atau meletakkan sesuatu kepada orang lain
untuk menjaganya dengan baik. Sedangkan menurut istilah ialah memberikan
kekuasaan sepenuhnya kepada orang lain untuk menjaga barangnya dengan cara
terang-tengan kepada si pemilik barang tersebut.
B.
Hukum dan
Dalil Wadi’ah
Asal dari Al-wadi’ah
itu adalah boleh, bagi manusia yang dibebankan dalam memelihara milik orang
lain harus bisa menjamin dalam menjaganya. Ulama fikih sependapat, bahwa
wadi’ah adalah sebagai salah satu akad dalam rangka tolong menolong antara
sesame manusia. Sebagai landasannya firman Allah SWT.:
إن الله
يأمروكم أن تؤدواالامانات إلى أهلها.....الخ
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada
yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara
manusia supaya kamu menetapkan dengan adil…” [4]
اد الأمانة االى من ائتمنك ولا تخن من خنك (رواه أبو داود والتر ميذى
والحاكم)
“Hendaklah amanat orang yang mempercayai
anda dan janganlah anda menghianati orang yang menghianati anda.” (HR. Abu
Daud, Tirmidzi dan Hakim).[5]
Dari ayat-ayat dan hadits-hadits diatas, para
ulama sepakat mengatakan, akad wadi’a (titipan) hukumnya mandub (disunatkan), dalam hal tolong-menolong
sesama manusia.
Oleh sebab itu Ibnu Qudamah (ahli fikir mazhab hanafi) menyatakan bahwa sejak
zaman Rasulullah sampai generasi ke gerasi berikutnya, wadi’ah telah menjadi ijma’ ‘amali (الا جماع العملى), yaitu
telah menjadi keperilaku kebiasaan dengan menitipkan barang kepada orang lain.
C.
Syarat Wadi’ah
1.
Orang yang berakad
Orang yang berakad hendaklah orang
yang sehat (tidak gila) diantaranya yaitu:
a. Baligh
b. Berakal
c. Kemauan
sendiri, tidak dipaksa
Dalam mazhab
Hanafi baliqh dan berakal tidak dijadikan syarat dari orang yang sedang
berakad, jadi anak kecil yang dizinkan oleh walinya boleh untuk melakukan akad
wadi’ah ini.
2. Barang
titipan
Barang yang
dititipkan harus jelas dan dapat dipegang atau dikuasai, maksudnya ialah barang
itu haruslah jelas identitasnya dan dapat dikuasai untuk dipelihara.
3. Sighat (akad)
Syarat sighah
yaitu kedua belah pihak melafazkan akad yaitu orang yang menitipkan (mudi’)
dan orang yang diberi titipan (wadi’).
D.
Rukun Wadi’ah
Menurut ulama ahli fiqh imam Abu Hanafi mengatakan bahwa rukun wadi’ah
hanyalah ijab dan qobul.[6]
Namun menurut
jumhur ulama mengemukakan bahwa rukun wadi’ah ada tiga yaitu:
1. Orang yang
berakad
2. Barang
titipan
3. Sighah, ijab
dan qobul
E.
Hukum Menerima
Barang Wadi’ah
Menurut keadaannya, hukum menerima wadi’ah
ada empat, yaitu :
a)
Wajib
Bagi orang
yang sanggup diserahi(dititipi) oleh orang lain dan hanya dia satu-satunya
orang yang dipandang sanggup, maka hukumnya wajib. Begitu juga, apabila orang
yang menitipi itu dalam keadaan darurat.
b) Sunnat
Bagi orang yang merasa sanggup diserahi suatu
amanat, sehingga ia dapat menjaga barang yang diamanatkan dengan
sebaik-baiknya.
c) Makruh
Bagi orang yang sanggup, tetapi tidak percaya
terhadapa dirinya sendiri, apakah ia mampu menjaga amanat itu dengan baik atau
tidak, sehingga dimungkinkan ia tidak dapat mempertanggung jawabkannnya.
d)
Haram
Bagi orang yang benar-benar tidak
sanggup untuk diserahi suatu amanat.[7]
v Rusak dan Hilangnya Barang Wadi’ah
Jika orang
yang menerima titipan mengaku bahwa benda-benda titipan telah rusak tanpa unsur
kesengajaan darinya, maka ucapan harus disertai dengan sumpah supaya perkataaan
itu kuat kedudukannya menurut hukum, namun Ibnu al-Munzil berpendapat bahwa
orang tersebut di atas sudah dapat diterima ucapannya secara hukum tanpa
dibutuhkan adanya sumpah.
Menurut Ibnu
Taimiyyah apabila seorang yang memelihara benda-benda titipan mengaku bahwa
benda-benda titipan ada yang mencuri, sementara hartanya yang ia kelola tidak
ada yang mencuri, maka orang yang menerima benda titipan wajib menggantinya.[8]
Ibnu Taimiyya dalam Kitab Mukhtasar al-Fatawa
mengatakan, “Barang siapa mengaku bahwa dia menjaga barang titipan bersama
hartanya, kemudian barang itu dicuri, sementara hartanya sendiri tidak, maka ia
wajib bertanggung jawab.
v Kecerobohan yang Menyebabkan Tanggungan
Pada dasarnya orang yang diserahi suatu amanat
itu tidak berhak untuk menanggung resiko apapun, baik barang yang diamanatkan itu rusak atau hilang. Hal ini
berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Amr bin Syu’abi dari
ayahnya dari kakeknya, dikatakan bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda : “barang
siapa yang menerima titipan, maka baginya tidak usah ada jaminan.
Akan tetapi, apabila barang yang diamanatkan
itu rusak atau hilang disebutkan oleh kecerobohan dari orang yang diserahi,
maka wajib baginya untuk menanggungnya, yaitu dengan cara mengganti atau
memperbaiki barang tersebut. Adapun bentuk kecerobohan dari orang yang diserahi
amanat yang sangat mengakibatkan timbulnya tanggungan adalah sebagai berikut:
a.
Tidak disimpan ditempat yang wajar,
b.
Dititipkan kepada orang lain tanpa
seizing pemiliknya.
c.
Dipergunakan tanpa izin pemiliknya,
sehingga rusak.
d.
Disia-siakan.
e.
Tidak terlalu memperhatikan dalam
pemeliharaan, sehingga hilang.
f.
Berkhianat, maksudnya ketika
pemiliknya mengambil barang tersebut, ia tidak memberikannya,
g.
Ketika ia dalam keadaan sakit parah
tiidak meninggalkan wasiat, sehingga ahli warisnya tidak mengetahui kalau orang
tuanya diserahi amanat oleh seseorang.
Wadi’ah
berakhir ketika salah satu dari pihak meninggal dunia atau gila atau meminta
berhenti, baik itu orang yang memberi amanat (menitipkan) maupun orang yang
diserahi amanat tersebut.[9]
F.
Macam-macam Wadi’ah
Secara umum,
terdapat dua jenis Wadi’ah, yaitu :
1. Wadi’ah yad Al-Amanah (Trustee
Defostery)
Al- wadi’ah Yad Al-Amanah, yaitu
titipan barang/harta yang dititipkan oleh pihak pertama (penitip) kepada pihak
lain (bank) untuk memelihara (disimpan) barang/uang tanpa mengelola barang/
harta tersebut. Dan pihak lain (bank) tidak dibebankan terhadap kerusakan atau
kehilangan pada barang/harta titipan selama hal tersebut. Aplikasinya di
perbankan yaitu: safe deposit box.[10]
Wadi’ah jenis
ini memiliki karakteristik sebagai berikut:
Harta atau barang yang dititipkan tidak boleh dimanfaatkan dan digunakan oleh
penerima titipan.
Penerima titipan hanya berfungsi sebagai penerima amanah yang bertugas dan
berkewajiban untuk menjaga barang yang dititipkan tanpa boleh memanfaatkannya.
Sebagai
kompensasi, penerima titipan diperkenankan untuk membebankan biaya kepada yang
menitipkan.
Mengingat barang atau harta yang dititipkan tidak boleh dimanfaatkan oleh
penerima titipan, aplikasi perbankan yang memungkinkan untuk jenis ini adalah
jasa penitipan atau safe defosit box.
2.
Wadi’ah Yad Adh-Dhamanah (Guarantee
Depository)
Wadi’ah ini merupakan
titipan barang/harta yang dititipkan oleh pihak pertama (nasabah) kepada pihak
lain (bank) untuk memelihara barang/harta tersebut dan pihak lain (bank) dapat
memanfaatkan dengan seizin pemiliknya dan menjamin untuk mengembalikan titipan
tersebut secara utuh setiap saat, saat si pemilik menghendaki. Konsekuensinya
jika uang itu dikelola pihak lain (bank) dan mendapat keuntungan, maka seluruh
keuntungan menjadi milik pihak lain (bank) dan bank boleh memberikan bonus atau
hadiah pada pihak pertama (nasabah) dengan dasar tidak ada perjanjian
sebelumnya. Aplikasinya di perbankan yaitu : tabungan dan giro tidak berjangka.[11]
Wadi’ah jenis ini
memiliki karakteristik sebagai berikut:
Harta dan barang yang dititipkan boleh dan dapat dimanfaatkan oleh yang
menerima titipan.
Karena dimanfaatkan,barang dan harta yang dititipkan tersebut tentu dapat
menghasilkan manfaat. Sekalipun demikian, tidak ada keharusan bagi penerima
titipan untuk memberikan hasil manfaat kepada si penitip.
v Wadi’ah yad-Amanah Berubah Menjadi Wadi’ah yad-Dhamanah
Kemungkinan
perubahan sifat amanat berubah menjadi wadi’ah yang bersifat dhamanah
(ganti rugi). Yaitu kemungkinan-kemungkinan tersebut adalah:
1.
Barang itu tidak dipelihara oleh orang yang dititipi. Dengan demikian halnya
apabila ada orang lain yang akan merusaknya, tetapi dia tidak
mempertahankannya, sedangkan dia mampu mengatasi (mencegahnya).
2.
Barang titipan itu dimanfaatkan oleh orang yang dititipi, kemudian barang itu
rusak atau hilang. Sedangkan barang titipan
seharusnya dipelihara, bukan dimanfaatkan.
3.
Orang yangdititipi mengingkari ada barang titipan kepadanya. Oleh sebab itu,
sebaiknya dalam akad wadi’ah disebutkan jenis varangnya dan jumlahnya ataupun
sifat-sifat lain, sehingga apabila terjadi keingkaran dapat ditunjukkan
buktinya.
4.
Orang yang menerima titipan barang itu, mencampuradukkan dengan bangan
pribadinyam sehingga sekiranya ada yang rusak atau hilang, maka sukar untuk menentukannya,
apakah barangnya sendiri yang rusak (hilang) atau barnag titipan itu.
5.
Orang yang menerima titipan itu tidak menepati syarat-syarat yang dikemukakan
oleh penitip barang itu, seperti tempat penyimpanan dan syarat-syarat lainnya.[12]
G. Penerapan Wadi’ah dalam Perbankan Syari’ah
Dalam perbankan Syariah terdapat
beberapa prinsip yang diadobsi dalam pengelolaanya, yang ditujukan untuk
menggalang dana untuk membiayai operasinya. Sumber dana dalam perbankan secara
umum ada 3, yaitu dari bank sendiri, yang berupa modal setoran dari pemegang
saham, dari masyarakat, yang berupa simpanan dalam bank tersebut.
Dalam rangka
menghimpun modal, bank syari’ah melakukan pendekatan tunggal dalam menyediakan
produk penghimpunan dana bagi nasabahanya. Wadi’ah merupakan salah satu produk
penghimpun dana/ modal bank Syariah dari nasabah/ masyarakat.
![*](file:///C:\Users\AI\AppData\Local\Temp\msohtmlclip1\01\clip_image001.png)
Dalam aplikasinya di perbankan, wadi’ah secara
fungsional dapat dibagi menjadi dua, yaitu pertama, wadi’ah (titipan).
Terdapat dua katagori titipan dalam prakteknya di bank syariah yaitu :
1)
Wadi’ah jariyah (tahta tholab)
yaitu suatu titipan, di mana penyimpan berhak mengambilnya kapan saja
baik cash ataupun dengan cek atapun melalui nasabah pihak ketiga.
2)
Wadi’ah Iddikhoriyah (at
taufir), ciri-ciri simpanan ini adalah kecilnya simpanan dan
banyaknya jumlah nasabah penyimpan dan bank menyalurkannya untuk
investasi dengan akad mudhorobah muthlaqoh.
Dua jenis simpanan ini pada prakteknya, bank
memanfaatkannya untuk keperluan investasi dan mengembalikan simpanan. Berbeda
dengan konsep wadi’ah dalam fiqh di manawadî’ (penerima titipan) harus
mengembalikan barang simpanan tersebut. Maka dengan begitu yad
(kepemilikan) bank syariah terhadap simpanan tersebut adalah yad dhomanah/guarantee
depository (penjamin).[13]
Lebih lanjut Syafi’i Antonio menjelaskan karakteristik kedua jenis
simpanan ini yaitu:
- Harta dan barang yang dititipkan boleh dan dapat dimanfaatkan oleh yang menerima titipan.
- Karena dimanfaatkan, barang dan harta yang dititipkan tersebut tentu dapat menghasilkan manfaat. Sekalipun demikian tidak ada keharusan bagi penerima titipan untuk memberikan hasil pemanfaatan kepada si penitip.
- Produk perbankan yang sesuai dengan akad ini adalah yaitu giro dan tabungan.
- Bank konvensional memberikan jasa giro sebagai imbalan yang dihitung berdasarkan presentase yang telah ditetapkan. Adapun pada bank syari’ah, pemberian bonus (semacam jasa giro) tidak boleh disebutkan dalam kontrak ataupun dijanjikan dalam akad, tetapi benar-benar pemberian sepihak sebagai tanda terima kasih dari pihak bank.
- Jumlah pemberian bonus sepenuhnya merupakan kewenangan manajemen bank syari’ah karena pada prinsipnya dalam akad ini penekanannya adalah titipan.
- Produk tabungan juga dapat menggunakan akad wadi’âh (titipan) karena pada prinsipnya tabungan mirip dengan giro, yaitu simpanan yang bisa diambil setiap saat. Perbedaanya, tabungan tidak dapat ditarik dengan cek atau alat lain yang dipersamakan.
Pada aplikasinya, sebagiamana di atas telah
dijelaskan oleh Antonio, dua katagori wadi’ah di atas diaplikasikan pada produk
yang umumnya berupa giro dan tabungan.
v Rekening Giro Wadi’ah
Yang dimaksud dengan giro wadiah adalah
giro yang dijalankan berdasarkan akad wadiah, yakni titipan murni yang
setiap saat dapat diambil jika pemiliknya menghendaki. Bank syariah memberikan
jasa simpanan giro dalam bentuk rekening wadi’ah.
Dalam
kaitannya dengan produk giro, bank syariah menerapkan prinsip yang memberikan
hak kepada bank syariah untuk menggunakan atau memanfaatkan uang atau barang
titipannya, sedangkan bank syariah bertindak sebagai pihak yang dititipi yang
disertai hak untuk mengelola dana
titipan dengan tanpa mempunyai kewajiban memberikan bagi hasil dari keuntungan
pengelolaan dana tersebut. Namun demikian, bank syariah diperkanankan
memberikan insentif berupa bonus dengan catatan tidak disyaratkan sebelumnya.
Dari pemaparan di atas, dapat dinyatakan beberapa ketentuan umum giro wadiah
sebagai berikut:
1)
Dana wadiah dapat digunakan
oleh bank untuk kegiatan komersil dengan syarat harus menjamin pembayaran
kembali nominal dana wadiah tersebut.
2)
Keuntungan atau kerugian dari penyaluran dana
menjadi hak milik atau ditanggung bank, sedang pemilik dana tidak dijanjikan
imbalan dan tidak menanggung kerugian. Bank dimungkinkan memberikan bonus
kepada pemilik dana sebagai suatu insentif untuk menarik dana masyarakat tapi
tidak boleh diperjanjikan dimuka.
3)
Pemilik dana wadiah dapat
menarik kembali dananya sewaktu-waktu (on call), baik sebagian ataupun
seluruhnya.
Seperti yang dikemukakan di atas, bank dapat
memberikan bonus atas penitipan dana wadiah. Pemberian bonus dimaksud
merupakan kewenangan bank dan tidak boleh diperjanjikan di muka.[14]
Dalam memperhitungkan bonus tersebut, hal- hal yang harus diperhatikan adalah:
· Tarif bonus wadiah
merupakan besarnya tariff yang diberikan bank sesuai ketentuan.
· Saldo terendah
adalah saldo terendah dalam satu bulan.
· Saldo
rata-rata harian adalah total saldo dalam satu bulan dibagi hari bagi hasil
sebenarnya menurut bulan kalender.
· Saldo harian
adalah saldo pada akhir hari.
· Hari efektif
adalah hari kalender tidak termasuk hari-hari tanggal pembukaan atau tanggal
penutupan, tetapi termasuk hari tanggal tutup buku.
· Dana giro yang
mengendap kurang dari satu bulan karena rekening baru dibuka awal bulan atau
ditutup tidak pada akhir bulan tidak mendapatkan bonus wadiah, kecuali apabila
penghitungan bonus wadiahnya atas dasar saldo harian.
v Rekening Tabungan Wadi’ah
Di samping
giro, produk perbankan syariah lainnya termasuk produk penghimpunan dana (funding)
ada tabungan. Berdasarkan UU NO. 10 Tahun 1998 tentang perubahan atas UU NO.7
Tahun 1992 tentang perbankan, yang dimaksud dengan tabungan adalah simpanan
yang penarikannya hanya dapat dilakukan menurut syarat tertentu yang
disepakati, tetapi tidak dapat ditarik dengan cek, bilyet giro dan atau lainnya
yang dapat dipersamakan dengan itu.
Adapun yang
dimaksud dengan tabungan syariah adalah tabungan yang dijalankan berdasarkan
prinsip syariah. Dalam hal ini, Dewan Syari’ah Nasional mengeluarkan fatwa yang
menyatakan bahwa tabungan yang dibenarkan adalah tabungan yang berdasarkan
prinsip wadiah dan mudharabah.
Ø Ketentuan umum
tabungan wadiah adalah sebagai berikut:
1. Tabungan wadiah merupakan tabungan
yang bersifat titipan murni yang harus dijaga dan dikembalikan setiap saat (on
call) sesuai dengan kehendak pemilik harta.
2. Keuntungan dan kerugian dari
penyaluran dana atau pemanfaatan barang menjadi milik atau tanggungan bank,
sedangkan nasabah penitip tidak dijadikan imbalan dan tidak menanggung
kerugian.
3. Bank dimungkinkan memberikan bonus
kepada pemilik harta sebagai sebuah insentif selama tidak diperjanjikan dalam
akad pembukaan rekening.[15]
Kedua, Titipan
Investasi(Wadî’ah
istismâriyah).
Ciri khas wadi’ah ini adalah nasabah penitip (mudi’)
menyerahkan dananya ke bank dengan niat untuk di investasikan. Dengan begitu
nasabah penitip sebagai pemilik modal sedangkan bank sebagai wakil atau
pemanfaat dana. Dalam prakteknya, bank syari’ah menyediakan dua bentuk
penerapan titipan investasi yaitu :
1)
General investment (investasi umum)
Ciri bentuk ini adalah shohibu al-mal
(pemilik dana) tidak membatasi bank syari’ah dengan batasan-batasan tertentu
tetapi diberi wewenang untuk menginvestasikan modalnya dalam waktu dan jenis
usaha yang di pilih oleh bank itu sendiri. Aplikasi perbankan yang sesuai
dengan akad ini adalah time deposit biasa. Atau secara umum, bentuk wadi’ah
ini lebih dikenal dengan wadi’ah yad adh-dhomanah (Guarante Depository).[16]
2)
Special investment (investasi khusus)
Bentuk ini mempunyai karakteristik
: Shôhib al-mâl (pemilik dana) memberikan batasan atas dana yang
diinvestasikannya. Mudhorib hanya bisa mengelola dana tersebut sesuai dengan
batasan yang diberikan oleh shôhib al-mâl. Misalnya hanya bentuk jenis usaha tertentu
saja, tempat tertntu, waktu tertentu dan lain-lain. Aplikasi perbankan
yang sesuai dengan akad ini adalah special investment (investasi
khusus). Secara umum, bentuk ini dikenal dengan wadi’ah yad al-amanah (Trustee
Depository).[17]
H.
Fatwa DSN Tentang Wadi’ah : Sebuah
Tinjauan
Setelah
menimbang atas segala konsekuensinya, maka Dewan Syariah Nasional (DSN)
memandang perlu menetapkan fatwa tentang bentuk-bentuk mu’amalah syari’ah untuk
dijadikan pedoman dalam pelaksanaan dan operasional perbankan.
Wadi’ah
merupakan salah satu prinsip yang dibenarkan oleh DSN yang dijadikan sebagai
landasan operasional produk perbankan Syariah. Produk perbankan yang sesuai
dengan akad ini adalah yaitu giro dan tabungan. Giro dan tabungan
merupakan produk perbankan di bidang penghimpunan dana dari masyarakat. Namun
kegiatan tabungan dan giro tidak semuanya dapat dibenarkan oleh hukum Islam
(syari’ah). Berdasarkan keputusan DSN, Giro dan tabungan yang dibenarkan secara
syari’ah, yaitu giro yang berdasarkan prinsip Mudharabah dan Wadi’ah.
Aplikasi
wadi’ah dalam perbankan, sebagaimana dijelaskan di atas, paling tidak secara
fungsional, dikatagorikan menjadi dua, yaitu : pertama, sebagai titipan,
yang sering digunakan dalam bentuk giro dan tabungan. Sedangkan kedua, sebagai
investasi.
Pada kedua
produk (giro dan tabungan), wadi’ah diaplikaskan dalam bentuk akad yad
adh-dhamanah, pihak bank dapat memanfaatkan dan menggunakan titipan
tersebut, sehingga semua keuntungan yang dihasilkan dari dana titipan tersebut
menjadi milik bank (demikian juga bank adalah penanggung seluruh kemungkinan
kerugian). Sebagai imbalan bagi si penitip, ia akan mendapatkan jaminan
keamanan terhadap titipannya. Tapi walaupun demikian pihak si penerima
titipan yang telah menggunakan barang titipan tersebut, tidak dilarang untuk
memberikan semacam insentif berupa bonus dengan catatan tidak disyaratkan
sebelumnya dan jumlahnya tidak ditettapkan dalam nominal persentase secara advance.
Hal ini sesuai
dengan Fatwa Dewan Syari’ah Nasional (DSN) No: 01/DSN-MUI/IV/2000, yang
menyatakan bahwa ketentuan umum Giro berdasarkan Wadi’ah ialah:
- Bersifat titipan,
- Titipan bisa diambil kapan saja (on call), dan
- Tidak ada imbalan yang disyaratkan, kecuali dalam bentuk pemberian (‘athiya) yang bersifat sukarela dari pihak bank.
Demikian juga
dalam bentuk tabungan, bahwa ketentuan umum tabungan berdasarkan Wadi’ah
adalah :
- Bersifat simpanan;
- Simpanan bias diambil kapan saja (on call) atau berdasarkan kesepakatan;
- Tidak ada imbalan yang disyaratkan, kecuali dalam bentuk pemberian (‘athiya) yang bersifat sukarela dari pihak bank.[18]
Tetapi dewasa ini, banyak bank Islam yang
telah berhasil mengombinasikan prinsip al-wadi’ah dengan prinsip al-mudharabah.
Akibatnya pihak bank dapat menetapkan besarnya bonus yang diterima oleh penitip
dengan menetapkan persentase. Bentuk ini termasuk dalam katagori fungsional
kedua, yaitu wadi’ah investasi.
Berdasarkan keterangan di atas, wajar saja ketika wadi’ah dianggap sebagai
produk yang sangat berpotensi untuk mendulang keuntungan besar bagi pihak bank
pada khususnya, walaupun tidak menutup kemungkinan juga, resiko tetap menanti.
Terutama wadi’ah yang berfungsi hanya sebagai titipan dan sering digunakan oleh
produk giro dan tabungan dengan menggunakan akad yad ad-dhomanah.
Konsekuensi dari penggunaan prinsip ini adalah ketiadaan sistem bagi hasil dari
bank untuk nasabah. Bank berhak atas pendapatan yang diperoleh dari pemanfaatan
harta titipan tersebut dalam kegiatan kegiatan komersial dan bukan merupakan
unsur keuntungan yang harus dibagikan.
Sehingga dari kacamata fikih, untuk sementara, penulis menyimpulkan tidak ada
masalah mengenai aplikasi wadi’ah pada produk giro dan tabungan, sebagaimana
yang difatwakan oleh Dewan Syariah Nasional.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sebagaimana yang telah dijelaskan diatas, wadi’ah adalah akad yang dilakukan oleh kedua belah pihak orang yang menitipkan barang
kepada orang lain agar dijaga dengan baik. Wadi’ah
juga merupakan salah satu produk penghimpun dana/ modal bank Syariah dari
nasabah/ masyarakat. Pada jenis akad, terbagi menjadi dua, yaitu
yad amanah dan yad dhomanah.
Pada praktek di perbankan, secara
fungsional dikatagorikan menjadi dua, yaitu berdasarkan prinsip murni titipan
dan investasi. Katagori pertama sering diaplikasikan berdasarkan akad yad
dhomanah. Sedangkan katagori kedua, biasanya tergantung jenisnya, general
invesment biasanya digunakan akad wadi’ah yad dhomanah, dan special
invesmnet digunakan akad wadi’ah yad amanah.
B. Saran
Berdasarkan aplikasi wadi’ah pada perbankan syariah untuk sementara penulis
menyimpulkan bahwa tidak ada hal yang menunjukkan ketidaksesuaian dengan
prinsip-prinsip syariah. Walaupun demikian, secara praktek, masih sangat perlu
untuk dipelajari dan dikembangkan.
DAFTAR PUSTAKA
Al Qur’an
Yunus, Mahmud. 2005. Kamus Bahasa Arab Indonesia. Jakarta:
Hidayakarya Agung.
Al Asqalani, Al Hafidz Ibnu Hajar. Bulughul Maram. Jeddah.
‘Al Jaziri, Abdul Rahman.
2005. Kitab al-Fiqh ‘ala al-madzahib al’arba’ah. Jilid 1 Riyadh: Darul
Fikr Riyadh.
Antonio, Muhammad
Syafi’I. 2001. Bank Syari’ah dari Teori ke Praktik. Jakarta: Gema Insani Press.
Haroen,
Nasrun. 2007. Fiqh Muamalah. Jakarta: Gaya Media Pratama.
Hasan, M. Ali. 2000. Berbagai Macam
Transaksi dalam Islam (Fiqh Mu’amalat). Jakarta: Rajawali Pers.
Karim, Adiwarman. Islamic Banking.
Jakarta: Rajawali Press.
Karim, Adiwarman. 2010. Bank Islam Analisis
Fiqh dan Keuangan. Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada.
Labib Mz, Harniawati. 2006. Risalah Fiqih
Islam. Surabaya: Bintang Usaha Jaya.
Zulkifli, Sunarto. 2003. Panduan
Praktis Transaksi Perbankan Syariah, Jakarta: Zikrul Hakim.
Sulaiman, Muh. Jalal. 1996. al-Wadâi’
al-istitsmâriyah fi al-bunûk al-islâmiyah, Kairo: IIIT
Hasan, M. Ali. 2004. Berbagai
Macam Transaksi Dalam Islam (Fiqh Muamalah ). Jakarta : PT Raja Grafindo
Persada.
Fatwa DSN MUI,
http://www.mui.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=149:fatwa-dsn-mui-no-02dsn-muiiv2000-tentang-t-a-b-u-n-g-a-n-&catid=57:fatwa-dsn-mui
[1] Mahmud Yunus. Kamus Arab-Indonesia.(Jakarta: Hidakarya
Agung, 2005) Hal. 495
[2] Abdul Rahman Al Jaziri. 2005. Kitab al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al’Arba’ah.
Jilid 1 Darul Fikr Riyadh. Hal. 182
[3] Nasrun Haroen. Fiqh Muammalah. (Jakarta: Gaya Media
Pratama,2007) Hal. 244-245
[4] Al Qur’an.
Surat An Nisa ayat: 58
[5] Ibnu Hajar Al
Asqalani. Bulughul Maram. Jeddah. Hal. 182
[6] Abdul Rahman Al
Jaziri. Op cit. Hal. 185
[7] Labib Mz.
Harniawati. Risalah Fiqh Islam. (Surabaya: Bintang Usaha Jaya,2006) Hal. 773
[8] Hendi Sufendi. Fiqh
Muamalah. (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,2002) hal.185
[9] Mardan. Fiqh
Ekonomi Syari’ah.(Jakarta: Kencana,2012) Hal. 282
[10] Muhammad Syafi’I
Antonio. Bank Syari’ah dari Teori ke Praktik. (Jakarta: Gema Insani Press,
2001) Hal.110
[11] Nasrun Haroen. Op
cit. hal. 103
[12] Muhammad Ali
Hasan. Berbagai Macam Transaksi dalam Islam (Fiqh Muamalat). (Jakarta: Rajawali
Pers, 2003) Hal. 249
[13]
Muh. Jalal Sauliman. al-Wadâi’ al-istitsmâriyah
fi al-bunûk al-islâmiyah (Kairo, IIIT:1996) dalam http://ayieffathurrahman.wordpress.com/2011/06/03/telaah-terhadap-praktek-akad-wadi%E2%80%99ah-di-perbankan-syariah/
di akses pada 06-10-2013, pukul 10.00
[14] Adiwarman Karim. Islamic Banking. (Jakarta:
Rajawali Press) hal. 288-289
[15] Adiwarman Karim. Bank Islam Analisis Fiqh dan
Keuangan. (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2010)
hal. 33
[16] Sunarto
Zulkifli. Panduan Praktis Transaksi Perbankan Syari’ah. (Jakarta: Zikrul Kahim,
2003) hal. 35
[17] Ibid. hal.
34
Izinkan saya gunakan makalah dia atas sebagai bahan pengajian. Semoga bapak mendapat pahala yang berterusan
BalasHapus