Rabu, 28 Mei 2014

Wadi'ah



BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
Dalam menjalani kehidupan ini, manusia tidak dapat hidup secara sendiri- sendiri tanpa bantuan orang lain. Dikarenakan keterbatasan seseorang tersebut dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Islam telah memberikan tuntunan dan aturan, serta memberikan kemudahan bagi umatnya untuk menjalani kehidupan di dunia ini dalam rangka pengabdiannya kepada Allah SWT.
Ulama telah membagi disiplin ilmu dari ajaran Islam. Salah satu disiplin ilmu yang tercetus adalah ilmu fiqh yang berbicara panjang lebar dan terinci khusus tentang kehidupan manusia. Salah satunya adalah wadi’ah yang merupakan bentuk dari kegiatan hubungan antara manusia yang dikenal dengan al-Wadiah. Al- wadi’ah adalah salah bentuk saling tolong- menolong antara manusia dengan jalan pemberian amanah suatu barang dari satu pihak kepada pihak lain untuk menjaga barang tersebut, atau sering disebut dengan titipan.
Seiring dengan bermunculannya lembaga-lembaga penitipan barang dapat sedikit membantu ketika seorang ingin menitipkan barangnya dalam waktu yang cukup lama, mereka tidak khawatir dengan keadaan keadaan barang yang ditinggalkannya itu, sebab dalam lembaga tersebut telah menjamin akan keaslian barangnya. Dewasa ini, praktek wadi’ah telah diterapkan di dalam perbankan syari’ah. Umat Islam tidak perlu khawatir dalam menggunakan jasa Wadi’ah di dalam perbankan syari’ah.

B.  Rumusan Masalah

1.         Apa definisi wadi’ah dan dasar hukumnya?
2.         Apakah syarat dan rukun wadi’ah?
3.         Bagaimana hukum menerima wadi’ah?
4.         Sebutkan macam-macam wadi’ah!
5.         Bagaimana penerapan wadi’ah dalam perbankan syari’ah?
6.         Bagaimana fatwa DSN tentang wadi’ah?

C.    Tujuan Pembahasan

1.      Mengetahui dan memahami definisi wadi’ah, dasar-dasar hukumnya, syarat, dan rukun-rukun wadi’ah
2.      Mengetahui bagaimana hukum menerima barang wadi’ah
3.      Mengetahui macam-macam wadi’ah
4.      Mengetahui penerapan wadi’ah dalam perbankan syari’ah
5.      Mengetahui bagaimana fatwa DSN tentang wadi’ah


BAB II
PEMBAHASAN

A.      Pengertian dan Dasar Hukum Wadi’ah
a.           Secara Etimologi
Secara etimologi wadi’ah ( الودعة) berartikan titipan (amanah). Kata Al-wadi’ah berasal dari kata wada’a (wada’a – yada’u – wad’aan) juga berarti membiarkan atau meninggalkan sesuatu.[1] Sehingga secara sederhana wadi’ah adalah sesuatu yang dititipkan.
b.        Secara Terminology
Secara terminology atau definisi istilah menurut mazhab Hanafi, Maliki dan Hambali. Ada dua definisi wadi’ah yang dikemukakan ulama fiqh:
    Ulama mazhab hanafi mendefinisikannya:
تسليط الغير على حفظ ماله صريحا أ و دلا لة
    “mengikutsertakan orang lain dalam memelihara harta, baik dengan   uangkapan yang jelas maupun melalui isyarat”.[2]
Umpama seraoang mengatakan: “saya titpkan tas saya ini pada anda”. Lalu dijawab “saya terima”. Dengan demikian, sempurnalah akad wadi’ah. Mungkin juga dengan cara: “saya titipak tas saya ini pada anda” tetapi orang yang dititipi diam saja (tanda setuju). Mazhab Syafi’i, Maliki dan Hambali (jumhur ulama) mendefinisikannya:
تو كيل في حفظ مملوك على وجه مخصوص
“mewakilkan orang lain untuk memelihara harata tertentu dengan cara tertentu”.[3]
c.     Menurut istilah wadi’ah dapat diartikan sebagai akad yang dilakukan oleh kedua belah pihak orang yang menitipkan barang kepada orang lain agar dijaga dengan baik.
d.    Di dalam ensiklopedi hokum islam mengenai wadi’ah secara bahasa  bias dimaknai meninggalkan atau meletakkan, yaitu meninggalkan atau meletakkan sesuatu kepada orang lain untuk menjaganya dengan baik. Sedangkan menurut istilah ialah memberikan kekuasaan sepenuhnya kepada orang lain untuk menjaga barangnya dengan cara terang-tengan kepada si pemilik barang tersebut.

B.       Hukum dan Dalil Wadi’ah   
Asal dari Al-wadi’ah itu adalah boleh, bagi manusia yang dibebankan dalam memelihara milik orang lain harus bisa menjamin dalam menjaganya. Ulama fikih sependapat, bahwa wadi’ah adalah sebagai salah satu akad dalam rangka tolong menolong antara sesame manusia. Sebagai landasannya firman Allah SWT.:
إن الله يأمروكم أن تؤدواالامانات إلى أهلها.....الخ
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil…” [4]

اد الأمانة االى من ائتمنك ولا تخن من خنك (رواه أبو داود والتر ميذى والحاكم)
“Hendaklah amanat orang yang mempercayai anda dan janganlah anda menghianati orang yang menghianati anda.” (HR. Abu Daud, Tirmidzi dan Hakim).[5]
Dari ayat-ayat dan hadits-hadits diatas, para ulama sepakat mengatakan, akad wadi’a (titipan) hukumnya mandub (disunatkan), dalam hal tolong-menolong sesama manusia. Oleh sebab itu Ibnu Qudamah (ahli fikir mazhab hanafi) menyatakan bahwa sejak zaman Rasulullah sampai generasi ke gerasi berikutnya, wadi’ah telah menjadi ijma’ ‘amali (الا جماع العملى), yaitu telah menjadi keperilaku kebiasaan dengan menitipkan barang kepada orang lain.

C.      Syarat Wadi’ah
1.      Orang yang berakad
Orang yang berakad hendaklah orang yang sehat (tidak gila) diantaranya   yaitu:
a.       Baligh
b.      Berakal
c.       Kemauan sendiri, tidak dipaksa
Dalam mazhab Hanafi baliqh dan berakal tidak dijadikan syarat dari orang yang sedang berakad, jadi anak kecil yang dizinkan oleh walinya boleh untuk melakukan akad wadi’ah ini.
2.      Barang titipan
Barang yang dititipkan harus jelas dan dapat dipegang atau dikuasai, maksudnya ialah barang itu haruslah jelas identitasnya dan dapat dikuasai untuk dipelihara.
3.      Sighat (akad)
Syarat sighah yaitu kedua belah pihak melafazkan akad yaitu orang yang menitipkan (mudi’) dan orang yang diberi titipan (wadi’).
D.      Rukun Wadi’ah
Menurut ulama ahli fiqh imam Abu Hanafi mengatakan bahwa rukun wadi’ah hanyalah ijab dan qobul.[6] Namun menurut jumhur ulama mengemukakan bahwa rukun wadi’ah ada tiga yaitu:
1.      Orang yang berakad
2.      Barang titipan
3.      Sighah, ijab dan qobul
E.       Hukum Menerima Barang Wadi’ah
Menurut keadaannya, hukum menerima wadi’ah ada empat, yaitu :
a)       Wajib
Bagi orang yang sanggup diserahi(dititipi) oleh orang lain dan hanya dia satu-satunya orang yang dipandang sanggup, maka hukumnya wajib. Begitu juga, apabila orang yang menitipi itu dalam keadaan darurat.
b)      Sunnat
Bagi orang yang merasa sanggup diserahi suatu amanat, sehingga ia dapat menjaga barang yang diamanatkan dengan sebaik-baiknya.
c)      Makruh
Bagi orang yang sanggup, tetapi tidak percaya terhadapa dirinya sendiri, apakah ia mampu menjaga amanat itu dengan baik atau tidak, sehingga dimungkinkan ia tidak dapat mempertanggung jawabkannnya.
d)      Haram
Bagi orang yang benar-benar tidak sanggup untuk diserahi suatu amanat.[7]

v  Rusak dan Hilangnya Barang Wadi’ah
Jika orang yang menerima titipan mengaku bahwa benda-benda titipan telah rusak tanpa unsur kesengajaan darinya, maka ucapan harus disertai dengan sumpah supaya perkataaan itu kuat kedudukannya menurut hukum, namun Ibnu al-Munzil berpendapat bahwa orang tersebut di atas sudah dapat diterima ucapannya secara hukum tanpa dibutuhkan adanya sumpah.
Menurut Ibnu Taimiyyah apabila seorang yang memelihara benda-benda titipan mengaku bahwa benda-benda titipan ada yang mencuri, sementara hartanya yang ia kelola tidak ada yang mencuri, maka orang yang menerima benda titipan wajib menggantinya.[8]
 Ibnu Taimiyya dalam Kitab Mukhtasar al-Fatawa mengatakan, “Barang siapa mengaku bahwa dia menjaga barang titipan bersama hartanya, kemudian barang itu dicuri, sementara hartanya sendiri tidak, maka ia wajib bertanggung jawab.
v  Kecerobohan yang Menyebabkan Tanggungan
Pada dasarnya orang yang diserahi suatu amanat itu tidak berhak untuk menanggung resiko apapun, baik barang yang  diamanatkan itu rusak atau hilang. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Amr bin Syu’abi dari ayahnya dari kakeknya, dikatakan bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda : “barang siapa yang menerima titipan, maka baginya tidak usah ada jaminan.
Akan tetapi, apabila barang yang diamanatkan itu rusak atau hilang disebutkan oleh kecerobohan dari orang yang diserahi, maka wajib baginya untuk menanggungnya, yaitu dengan cara mengganti atau memperbaiki barang tersebut. Adapun bentuk kecerobohan dari orang yang diserahi amanat yang sangat mengakibatkan timbulnya tanggungan adalah sebagai berikut:

a.          Tidak disimpan ditempat yang wajar,
b.         Dititipkan kepada orang lain tanpa seizing pemiliknya.
c.          Dipergunakan tanpa izin pemiliknya, sehingga rusak.
d.         Disia-siakan.
e.          Tidak terlalu memperhatikan dalam pemeliharaan, sehingga hilang.
f.         Berkhianat, maksudnya ketika pemiliknya mengambil barang tersebut, ia tidak memberikannya,
g.        Ketika ia dalam keadaan sakit parah tiidak meninggalkan wasiat, sehingga ahli warisnya tidak mengetahui kalau orang tuanya diserahi amanat oleh seseorang.
Wadi’ah berakhir ketika salah satu dari pihak meninggal dunia atau gila atau meminta berhenti, baik itu orang yang memberi amanat (menitipkan) maupun orang yang diserahi amanat tersebut.[9]
F.       Macam-macam Wadi’ah
Secara umum, terdapat dua jenis Wadi’ah, yaitu :

1.      Wadi’ah yad Al-Amanah (Trustee Defostery)
Al- wadi’ah Yad Al-Amanah, yaitu titipan barang/harta yang dititipkan oleh pihak pertama (penitip) kepada pihak lain (bank) untuk memelihara (disimpan) barang/uang tanpa mengelola barang/ harta tersebut. Dan pihak lain (bank) tidak dibebankan terhadap kerusakan atau kehilangan pada barang/harta titipan selama hal tersebut. Aplikasinya di perbankan yaitu: safe deposit box.[10]
Wadi’ah jenis ini memiliki karakteristik sebagai berikut:
        Harta atau barang yang dititipkan tidak boleh dimanfaatkan dan digunakan oleh penerima titipan.
        Penerima titipan hanya berfungsi sebagai penerima amanah yang bertugas dan berkewajiban untuk menjaga barang yang dititipkan tanpa boleh memanfaatkannya.
       Sebagai kompensasi, penerima titipan diperkenankan untuk membebankan biaya kepada yang menitipkan.
        Mengingat barang atau harta yang dititipkan tidak boleh dimanfaatkan oleh penerima titipan, aplikasi perbankan yang memungkinkan untuk jenis ini adalah jasa penitipan atau safe defosit box.
2.      Wadi’ah Yad Adh-Dhamanah (Guarantee Depository)
Wadi’ah ini merupakan titipan barang/harta yang dititipkan oleh pihak pertama (nasabah) kepada pihak lain (bank) untuk memelihara barang/harta tersebut dan pihak lain (bank) dapat memanfaatkan dengan seizin pemiliknya dan menjamin untuk mengembalikan titipan tersebut secara utuh setiap saat, saat si pemilik menghendaki. Konsekuensinya jika uang itu dikelola pihak lain (bank) dan mendapat keuntungan, maka seluruh keuntungan menjadi milik pihak lain (bank) dan bank boleh memberikan bonus atau hadiah pada pihak pertama (nasabah) dengan dasar tidak ada perjanjian sebelumnya. Aplikasinya di perbankan yaitu : tabungan dan giro tidak berjangka.[11]
Wadi’ah jenis ini memiliki karakteristik sebagai berikut:
        Harta dan barang yang dititipkan boleh dan dapat dimanfaatkan oleh yang menerima titipan.
        Karena dimanfaatkan,barang dan harta yang dititipkan tersebut tentu dapat menghasilkan manfaat. Sekalipun demikian, tidak ada keharusan bagi penerima titipan untuk memberikan hasil manfaat kepada si penitip.
v  Wadi’ah yad-Amanah Berubah Menjadi Wadi’ah yad-Dhamanah
Kemungkinan perubahan sifat amanat berubah menjadi wadi’ah yang bersifat dhamanah (ganti rugi). Yaitu kemungkinan-kemungkinan tersebut adalah:

1.      Barang itu tidak dipelihara oleh orang yang dititipi. Dengan demikian halnya apabila ada orang lain yang akan merusaknya, tetapi dia tidak mempertahankannya, sedangkan dia mampu mengatasi (mencegahnya).
2.      Barang titipan itu dimanfaatkan oleh orang yang dititipi, kemudian barang itu rusak atau hilang. Sedangkan barang titipan  seharusnya dipelihara, bukan dimanfaatkan.
3.      Orang yangdititipi mengingkari ada barang titipan kepadanya. Oleh sebab itu, sebaiknya dalam akad wadi’ah disebutkan jenis varangnya dan jumlahnya ataupun sifat-sifat lain, sehingga apabila terjadi keingkaran dapat ditunjukkan buktinya.
4.      Orang yang menerima titipan barang itu, mencampuradukkan dengan bangan pribadinyam sehingga sekiranya ada yang rusak atau  hilang, maka sukar untuk menentukannya, apakah barangnya sendiri yang rusak (hilang) atau barnag titipan itu.
5.      Orang yang menerima titipan itu tidak menepati syarat-syarat yang dikemukakan oleh penitip barang itu, seperti tempat penyimpanan dan syarat-syarat lainnya.[12]
G. Penerapan Wadi’ah dalam Perbankan Syari’ah
Dalam perbankan Syariah terdapat beberapa prinsip yang diadobsi dalam pengelolaanya, yang ditujukan untuk menggalang dana untuk membiayai operasinya. Sumber dana dalam perbankan secara umum ada 3, yaitu dari bank sendiri, yang berupa modal setoran dari pemegang saham, dari masyarakat, yang berupa simpanan dalam bank tersebut.
Dalam rangka menghimpun modal, bank syari’ah melakukan pendekatan tunggal dalam menyediakan produk penghimpunan dana bagi nasabahanya. Wadi’ah merupakan salah satu produk penghimpun dana/ modal bank Syariah dari nasabah/ masyarakat.

*        Bentuk Wadi’ah dan Jenis Transaksinya dalam Perbankan Syari’ah
Dalam aplikasinya di perbankan, wadi’ah secara fungsional dapat dibagi  menjadi dua, yaitu pertama, wadi’ah (titipan). Terdapat dua katagori titipan dalam prakteknya di bank syariah yaitu :
1)        Wadi’ah jariyah (tahta tholab) yaitu suatu titipan, di mana penyimpan  berhak mengambilnya kapan saja baik cash ataupun dengan cek  atapun melalui nasabah pihak ketiga.
2)        Wadi’ah Iddikhoriyah (at taufir), ciri-ciri simpanan ini adalah  kecilnya simpanan dan banyaknya jumlah nasabah penyimpan  dan bank menyalurkannya untuk investasi dengan akad  mudhorobah muthlaqoh.
Dua jenis simpanan ini pada prakteknya, bank memanfaatkannya untuk keperluan investasi dan mengembalikan simpanan. Berbeda dengan konsep wadi’ah dalam fiqh di manawadî’ (penerima titipan) harus mengembalikan barang simpanan tersebut. Maka dengan begitu yad (kepemilikan) bank syariah terhadap simpanan tersebut adalah yad dhomanah/guarantee depository (penjamin).[13] Lebih lanjut Syafi’i Antonio menjelaskan karakteristik kedua jenis simpanan  ini yaitu:
  1. Harta dan barang yang dititipkan boleh dan dapat dimanfaatkan oleh yang  menerima titipan.
  2. Karena dimanfaatkan, barang dan harta yang dititipkan tersebut tentu dapat menghasilkan manfaat. Sekalipun demikian tidak ada keharusan bagi penerima titipan untuk memberikan hasil pemanfaatan kepada si penitip.
  3. Produk perbankan yang sesuai dengan akad ini adalah yaitu giro dan  tabungan.
  4. Bank konvensional memberikan jasa giro sebagai imbalan yang dihitung berdasarkan presentase yang telah ditetapkan. Adapun pada bank syari’ah, pemberian bonus (semacam jasa giro) tidak boleh disebutkan dalam kontrak ataupun dijanjikan dalam akad, tetapi benar-benar pemberian sepihak sebagai tanda terima kasih dari pihak bank.
  5. Jumlah pemberian bonus sepenuhnya merupakan kewenangan manajemen bank syari’ah karena pada prinsipnya dalam akad ini penekanannya adalah titipan.
  6. Produk tabungan juga dapat menggunakan akad wadi’âh (titipan) karena pada prinsipnya tabungan mirip dengan giro, yaitu simpanan yang bisa diambil setiap saat. Perbedaanya, tabungan tidak dapat ditarik dengan cek atau alat lain yang dipersamakan.
Pada aplikasinya, sebagiamana di atas telah dijelaskan oleh Antonio, dua katagori wadi’ah di atas diaplikasikan pada produk yang umumnya berupa giro dan tabungan.
v  Rekening Giro Wadi’ah
Yang dimaksud dengan giro wadiah adalah giro yang dijalankan berdasarkan akad wadiah, yakni titipan murni yang setiap saat dapat diambil jika pemiliknya menghendaki. Bank syariah memberikan jasa simpanan giro dalam bentuk rekening wadi’ah.
Dalam kaitannya dengan produk giro, bank syariah menerapkan prinsip yang memberikan hak kepada bank syariah untuk menggunakan atau memanfaatkan uang atau barang titipannya, sedangkan bank syariah bertindak sebagai pihak yang dititipi yang disertai hak  untuk mengelola dana titipan dengan tanpa mempunyai kewajiban memberikan bagi hasil dari keuntungan pengelolaan dana tersebut. Namun demikian, bank syariah diperkanankan memberikan insentif berupa bonus dengan catatan tidak disyaratkan sebelumnya. Dari pemaparan di atas, dapat dinyatakan beberapa ketentuan umum giro wadiah sebagai berikut:
1)        Dana wadiah dapat digunakan oleh bank untuk kegiatan komersil dengan syarat harus menjamin pembayaran kembali nominal dana wadiah tersebut.
2)         Keuntungan atau kerugian dari penyaluran dana menjadi hak milik atau ditanggung bank, sedang pemilik dana tidak dijanjikan imbalan dan tidak menanggung kerugian. Bank dimungkinkan memberikan bonus kepada pemilik dana sebagai suatu insentif untuk menarik dana masyarakat tapi tidak boleh diperjanjikan dimuka.
3)        Pemilik dana wadiah dapat menarik kembali dananya sewaktu-waktu (on call), baik sebagian ataupun seluruhnya.
Seperti yang dikemukakan di atas, bank dapat memberikan bonus atas penitipan dana wadiah. Pemberian bonus dimaksud merupakan kewenangan bank dan tidak boleh diperjanjikan di muka.[14] Dalam memperhitungkan bonus tersebut, hal- hal yang harus diperhatikan adalah:
·      Tarif bonus wadiah merupakan besarnya tariff yang diberikan bank sesuai ketentuan.
·      Saldo terendah adalah saldo terendah dalam satu bulan.
·      Saldo rata-rata harian adalah total saldo dalam satu bulan dibagi hari bagi hasil sebenarnya menurut bulan kalender.
·      Saldo harian adalah saldo pada akhir hari.
·      Hari efektif adalah hari kalender tidak termasuk hari-hari tanggal pembukaan atau tanggal penutupan, tetapi termasuk hari tanggal tutup buku.
·      Dana giro yang mengendap kurang dari satu bulan karena rekening baru dibuka awal bulan atau ditutup tidak pada akhir bulan tidak mendapatkan bonus wadiah, kecuali apabila penghitungan bonus wadiahnya atas dasar saldo harian.
v  Rekening Tabungan Wadi’ah
Di samping giro, produk perbankan syariah lainnya termasuk produk penghimpunan dana (funding) ada tabungan. Berdasarkan UU NO. 10 Tahun 1998 tentang perubahan atas UU NO.7 Tahun 1992 tentang perbankan, yang dimaksud dengan tabungan adalah simpanan yang penarikannya hanya dapat dilakukan menurut syarat tertentu yang disepakati, tetapi tidak dapat ditarik dengan cek, bilyet giro dan atau lainnya yang dapat dipersamakan dengan itu.
Adapun yang dimaksud dengan tabungan syariah adalah tabungan yang dijalankan berdasarkan prinsip syariah. Dalam hal ini, Dewan Syari’ah Nasional mengeluarkan fatwa yang menyatakan bahwa tabungan yang dibenarkan adalah tabungan yang berdasarkan prinsip wadiah dan mudharabah.
Ø  Ketentuan umum tabungan wadiah adalah sebagai berikut:
1.      Tabungan wadiah merupakan tabungan yang bersifat titipan murni yang harus dijaga dan dikembalikan setiap saat (on call) sesuai dengan kehendak pemilik harta.
2.      Keuntungan dan kerugian dari penyaluran dana atau pemanfaatan barang menjadi milik atau tanggungan bank, sedangkan nasabah penitip tidak dijadikan imbalan dan tidak menanggung kerugian.
3.      Bank dimungkinkan memberikan bonus kepada pemilik harta sebagai sebuah insentif selama tidak diperjanjikan dalam akad pembukaan rekening.[15]

Kedua, Titipan Investasi(Wadî’ah istismâriyah).
Ciri khas wadi’ah ini adalah nasabah penitip (mudi’) menyerahkan dananya ke bank dengan niat untuk di investasikan. Dengan begitu nasabah penitip sebagai pemilik modal sedangkan bank sebagai wakil atau pemanfaat dana. Dalam prakteknya, bank syari’ah menyediakan dua bentuk penerapan titipan investasi yaitu :
1)        General investment (investasi umum)

Ciri bentuk ini adalah shohibu al-mal (pemilik dana) tidak membatasi bank syari’ah dengan batasan-batasan tertentu tetapi diberi wewenang untuk menginvestasikan modalnya dalam waktu dan jenis usaha yang di pilih oleh bank itu sendiri. Aplikasi perbankan yang sesuai dengan akad ini adalah time deposit biasa. Atau secara umum, bentuk wadi’ah ini lebih dikenal dengan wadi’ah yad adh-dhomanah (Guarante Depository).[16]
2)        Special investment (investasi khusus)

Bentuk ini mempunyai karakteristik  : Shôhib al-mâl (pemilik dana) memberikan batasan atas dana yang diinvestasikannya. Mudhorib hanya bisa mengelola dana tersebut sesuai dengan batasan yang diberikan oleh shôhib al-mâl. Misalnya hanya bentuk jenis usaha tertentu saja, tempat tertntu, waktu tertentu dan lain-lain.  Aplikasi perbankan yang sesuai dengan akad ini adalah special investment  (investasi khusus). Secara umum, bentuk ini dikenal dengan wadi’ah yad al-amanah (Trustee Depository).[17]

H.      Fatwa DSN Tentang Wadi’ah : Sebuah Tinjauan
Setelah menimbang atas segala konsekuensinya, maka Dewan Syariah Nasional (DSN) memandang perlu menetapkan fatwa tentang bentuk-bentuk mu’amalah syari’ah untuk dijadikan pedoman dalam pelaksanaan dan operasional perbankan.
Wadi’ah merupakan salah satu prinsip yang dibenarkan oleh DSN yang dijadikan sebagai landasan operasional produk perbankan Syariah. Produk perbankan yang sesuai dengan akad ini adalah yaitu giro dan  tabungan. Giro dan tabungan merupakan produk perbankan di bidang penghimpunan dana dari masyarakat. Namun kegiatan tabungan dan giro tidak semuanya dapat dibenarkan oleh hukum Islam (syari’ah). Berdasarkan keputusan DSN, Giro dan tabungan yang dibenarkan secara syari’ah, yaitu giro yang berdasarkan prinsip Mudharabah dan Wadi’ah.
Aplikasi wadi’ah dalam perbankan, sebagaimana dijelaskan di atas, paling tidak secara fungsional, dikatagorikan menjadi dua, yaitu : pertama, sebagai titipan, yang sering digunakan dalam bentuk giro dan tabungan. Sedangkan kedua, sebagai investasi.
Pada kedua produk (giro dan tabungan), wadi’ah diaplikaskan  dalam bentuk akad yad adh-dhamanah, pihak bank dapat memanfaatkan dan menggunakan titipan tersebut, sehingga semua keuntungan yang dihasilkan dari dana titipan tersebut menjadi milik bank (demikian juga bank adalah penanggung seluruh kemungkinan kerugian). Sebagai imbalan bagi si penitip, ia akan mendapatkan jaminan keamanan terhadap titipannya. Tapi walaupun  demikian pihak si penerima titipan yang telah menggunakan barang titipan tersebut, tidak dilarang untuk memberikan semacam insentif berupa bonus dengan catatan tidak disyaratkan sebelumnya dan jumlahnya tidak ditettapkan dalam nominal persentase secara advance.
Hal ini sesuai dengan Fatwa Dewan Syari’ah Nasional (DSN) No: 01/DSN-MUI/IV/2000, yang menyatakan bahwa ketentuan umum Giro berdasarkan Wadi’ah ialah:
  1. Bersifat titipan,
  2. Titipan bisa diambil kapan saja (on call), dan
  3. Tidak ada imbalan yang disyaratkan, kecuali dalam bentuk pemberian (‘athiya) yang bersifat sukarela dari pihak bank.
Demikian juga dalam bentuk tabungan, bahwa ketentuan umum tabungan berdasarkan Wadi’ah adalah  :
  1. Bersifat simpanan;
  2. Simpanan bias diambil kapan saja (on call) atau berdasarkan kesepakatan;
  3. Tidak ada imbalan yang disyaratkan, kecuali dalam bentuk pemberian (‘athiya) yang bersifat sukarela dari pihak bank.[18]   
 Tetapi dewasa ini, banyak bank Islam yang telah berhasil mengombinasikan prinsip al-wadi’ah dengan prinsip al-mudharabah. Akibatnya pihak bank dapat menetapkan besarnya bonus yang diterima oleh penitip dengan menetapkan persentase. Bentuk ini termasuk dalam katagori fungsional kedua, yaitu wadi’ah investasi.
            Berdasarkan keterangan di atas, wajar saja ketika wadi’ah dianggap sebagai produk yang sangat berpotensi untuk mendulang keuntungan besar bagi pihak bank pada khususnya, walaupun tidak menutup kemungkinan juga, resiko tetap menanti. Terutama wadi’ah yang berfungsi hanya sebagai titipan dan sering digunakan oleh produk giro dan tabungan dengan menggunakan akad yad ad-dhomanah. Konsekuensi dari penggunaan prinsip ini adalah ketiadaan sistem bagi hasil dari bank untuk nasabah. Bank berhak atas pendapatan yang diperoleh dari pemanfaatan harta titipan tersebut dalam kegiatan kegiatan komersial dan bukan merupakan unsur keuntungan yang harus dibagikan.
       Sehingga dari kacamata fikih, untuk sementara, penulis menyimpulkan tidak ada masalah mengenai aplikasi wadi’ah pada produk giro dan tabungan, sebagaimana yang difatwakan oleh Dewan Syariah Nasional.

BAB III
PENUTUP

A.      Kesimpulan
Sebagaimana yang telah dijelaskan diatas, wadi’ah adalah akad yang dilakukan oleh kedua belah pihak orang yang menitipkan barang kepada orang lain agar dijaga dengan baik. Wadi’ah juga merupakan salah satu produk penghimpun dana/ modal bank Syariah dari nasabah/ masyarakat.  Pada jenis akad, terbagi menjadi dua, yaitu yad amanah dan yad dhomanah.
Pada praktek di perbankan, secara fungsional dikatagorikan menjadi dua, yaitu berdasarkan prinsip murni titipan dan investasi. Katagori pertama sering diaplikasikan berdasarkan akad yad dhomanah. Sedangkan katagori kedua, biasanya tergantung jenisnya, general invesment biasanya digunakan akad wadi’ah yad dhomanah, dan special invesmnet digunakan akad wadi’ah yad amanah.

B.       Saran
Berdasarkan aplikasi wadi’ah pada perbankan syariah untuk sementara penulis menyimpulkan bahwa tidak ada hal yang menunjukkan ketidaksesuaian dengan prinsip-prinsip syariah. Walaupun demikian, secara praktek, masih sangat perlu untuk dipelajari dan dikembangkan.









DAFTAR PUSTAKA

Al Qur’an

Yunus, Mahmud. 2005. Kamus Bahasa Arab Indonesia. Jakarta: Hidayakarya Agung.

Al Asqalani, Al Hafidz Ibnu Hajar. Bulughul Maram. Jeddah.

‘Al Jaziri, Abdul Rahman. 2005. Kitab al-Fiqh ‘ala al-madzahib al’arba’ah. Jilid 1 Riyadh: Darul Fikr Riyadh.          

Antonio, Muhammad Syafi’I. 2001. Bank Syari’ah dari Teori ke Praktik. Jakarta: Gema Insani Press.

Haroen,  Nasrun. 2007. Fiqh Muamalah. Jakarta: Gaya Media Pratama.
           
Hasan, M. Ali. 2000. Berbagai Macam Transaksi dalam Islam (Fiqh Mu’amalat). Jakarta: Rajawali Pers.

Karim, Adiwarman. Islamic Banking. Jakarta: Rajawali Press.

Karim, Adiwarman. 2010. Bank Islam Analisis Fiqh dan Keuangan. Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada. 

Labib Mz, Harniawati. 2006. Risalah Fiqih Islam. Surabaya: Bintang Usaha Jaya.
Zulkifli, Sunarto. 2003. Panduan Praktis Transaksi Perbankan Syariah, Jakarta: Zikrul Hakim.
Sulaiman, Muh. Jalal. 1996. al-Wadâi’ al-istitsmâriyah fi al-bunûk al-islâmiyah, Kairo: IIIT
Hasan, M. Ali. 2004. Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam (Fiqh Muamalah ). Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
Fatwa DSN MUI, http://www.mui.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=149:fatwa-dsn-mui-no-02dsn-muiiv2000-tentang-t-a-b-u-n-g-a-n-&catid=57:fatwa-dsn-mui


[1] Mahmud Yunus. Kamus Arab-Indonesia.(Jakarta: Hidakarya Agung, 2005) Hal. 495
[2] Abdul Rahman Al Jaziri. 2005. Kitab al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al’Arba’ah. Jilid 1 Darul Fikr Riyadh. Hal. 182
[3] Nasrun Haroen. Fiqh Muammalah. (Jakarta: Gaya Media Pratama,2007) Hal. 244-245
[4]  Al Qur’an. Surat An Nisa ayat: 58
[5]  Ibnu Hajar Al Asqalani. Bulughul Maram. Jeddah. Hal. 182
[6]  Abdul Rahman Al Jaziri. Op cit. Hal. 185
[7]  Labib Mz. Harniawati. Risalah Fiqh Islam. (Surabaya: Bintang Usaha Jaya,2006) Hal. 773
[8]  Hendi Sufendi. Fiqh Muamalah. (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,2002) hal.185
[9]  Mardan. Fiqh Ekonomi Syari’ah.(Jakarta: Kencana,2012) Hal. 282
[10]  Muhammad Syafi’I Antonio. Bank Syari’ah dari Teori ke Praktik. (Jakarta: Gema Insani Press, 2001)   Hal.110
[11]  Nasrun Haroen. Op cit. hal. 103
[12]  Muhammad Ali Hasan. Berbagai Macam Transaksi dalam Islam (Fiqh Muamalat). (Jakarta: Rajawali Pers, 2003) Hal. 249
[13]  Muh. Jalal Sauliman. al-Wadâi’ al-istitsmâriyah fi al-bunûk al-islâmiyah (Kairo, IIIT:1996) dalam http://ayieffathurrahman.wordpress.com/2011/06/03/telaah-terhadap-praktek-akad-wadi%E2%80%99ah-di-perbankan-syariah/ di akses pada 06-10-2013, pukul 10.00
[14]  Adiwarman Karim. Islamic Banking. (Jakarta: Rajawali Press) hal. 288-289
[15] Adiwarman Karim. Bank Islam Analisis Fiqh dan Keuangan. (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2010)
hal. 33
[16]  Sunarto Zulkifli. Panduan Praktis Transaksi Perbankan Syari’ah. (Jakarta: Zikrul Kahim, 2003) hal. 35
[17]  Ibid. hal. 34
[18]  Fatwa DSN No. 02/DSN-MUI/IV/2000

1 komentar:

  1. Izinkan saya gunakan makalah dia atas sebagai bahan pengajian. Semoga bapak mendapat pahala yang berterusan

    BalasHapus