Keadilan adalah pengakuan
dan perlakuan yang seimbang antara hak dan kewajiban. Keadilan juga
dapat berarti suatu tindakan yang tidak berat sebelah atau tidak memihak ke
salah satu pihak, memberikan sesuatu kepada orang sesuai dengan hak yang harus
diperolehnya. Bertindak secara adil berarti mengetahui hak dan kewajiban,
mengerti mana yang benar dan yang salah, bertindak jujur dan tepat menurut
peraturan dan hukum yang telah ditetapkan serta tidak bertindak
sewenang-wenang.
Keadilan pada dasarnya terletak pada keseimbangan
atau keharmonisan antara penuntutan hak dan menjalankan kewajiban. Berdasarkan
segi etis, manusia diharapkan untuk tidak hanya menuntut hak dan melupakan atau
tidak melaksanakan kewajibannya sama sekali. Sikap dan tindakan manusia yang
semata-mata hanya menuntut haknya tanpa melaksanakan kewajibannya akan mengarah
pada pemerasan atau perbudakan terhadap orang lain.
1.2.Keadilan dalam Islam
Dalam hukum Islam ada beberapa prinsip universal
yang harus senantiasa diperhatikan. Pertama, Tauhid. Kedua, Keadilan.
Ketiga, Amarma’rufnahimunkar. Keempat, al-Hurriyah (kemerdekaan).
Kelima, al-Musawwa (persamaan). Keenam, al-Ta’awun (tolong
menolong) dan ketujuh, al-Tasamuh (Toleransi). Jadi, keadilan merupakan
salah satu prinsip dalam hukum Islam.
Al-Quran menggunakan pengertian yang berbeda-beda
bagi kata atau istilah yang bersangkut-paut dengan keadilan. Bahkan kata yang
digunakan untuk menampilkan sisi atau wawasan keadilan juga tidak selalu
berasal dari akar kata ‘adl. Kata-kata sinonim seperti qisth, hukm
dan sebagainya digunakan oleh al-Quran dalam pengertian keadilan. Sedangkan
kata ‘adl dalam berbagai-bagai bentuk pengertian dan penggunaannya boleh
saja kehilangan kaitannya yang langsung dengan sisi keadilan itu (ta’dilu,
dalam arti mempersekutukan Tuhan dan ‘adl dalam arti tebusan).
“Sesungguhnya Allah
menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum
kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan.
dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” (QS.
An-Nahl : 90)
Jika
dikategorikan, ada beberapa pengertian yang berkaitan dengan keadilan di dalam
al-Quran dari akar kata ‘adl tersebut, yaitu sesuatu yang benar, sikap
yang tidak memihak, penjagaan hak-hak seseorang dan cara yang tepat dalam
mengambil keputusan.
Kesimpulan
di atas juga diperkuatkan dengan pengertian dan dorongan al-Quran agar manusia
memenuhi janji, tugas, dan amanat yang dipikulnya, melindungi golongan yang
menderita, lemah dan kekurangan, merasakan ‘semangat kesatuan’ secara konkrit
dengan sesama warga masyarakat, jujur dalam segala hal, dan seterusnya. Fase
terpenting daripada wawasan keadilan yang dibawakan oleh al-Quran itu adalah
sifatnya sebagai perintah agama, bukan sekadar sebagai acuan etika atau
dorongan moral belaka. Pelaksanaannya merupakan pemenuhan kewajiban agama, dan
dengan demikian akan diperhitungkan dalam amal perbuatan seorang Muslim pada
hari perhitungan (yaum al-hisab) kelak. Sikap adil tidak hanya dituntut
bagi kaum Muslim saja tetapi juga mereka yang beragama lain. Itupun tidak hanya
dibatasi sikap adil dalam urusan-urusan mereka belaka, melainkan juga dalam
kebebasan mereka untuk mempertahankan keyakinan dan melaksanakan ajaran agama
masing-masing.
1.3.Bisnis dalam Islam
Bisnis diartikan sebagai suatu kegiatan yang
dilakukan yang dilakukan oleh manusia untuk memperoleh pendapatan atau
penghasilan atau rizki dalam rangka memenuhi kebutuhan dan keinginan hidupnya
dengan cara mengelola sumber daya ekonomi secara efektif dan efisien.
Skinner mendefinisikan bisnis sebagai pertukaran
barang. jasa, atau uang yang saling menguntungkan atau memberi manfaat. Menurut
Anoraga dan Soegiastuti, bisnis memiliki makna dasar sebagai “the buying and
selling of goods and service”. Sementara dalam pandangan Straub dan
Attner, bisnis tak lain adalah suatu organisasi yang menjalankan aktivitas
produksi dan penjualan barang-barang dan jasa-jasa yang diinginkan oleh konsumen
untuk memperoleh profit.
Dalam Islam, bisnis dapat dipahami sebagai
serangkaian aktivitas bisnis dalam berbagai bentuknya yang tidak dibatasi jumlah
(kuantitas) kepemilikan hartanya (barang/jasa) termasuk profitnya, namun
dibatasi dalam cara perolehan dan pendayagunaan hartanya (ada aturan halal dan
haram).
Bisnis
dalam Islam bertujuan untuk mencapai empat hal utama :
1.
Target
hasil; profit-materi dan benefit-non materi
2.
Pertumbuhan
3.
Keberlangsungan
4.
Keberkahan.
Target hasil: profit-materi dan benefit-nonmateri,
artinya bahwa bisnis tidak hanya untuk mencari profit (qimah madiyah atau
nilai materi) setinggi-tingginya, tetapi juga harus dapat memperoleh dan
memberikan benefit (keuntungan atau manfaat) non materi kepada perusahaan
organisasi internal dan eksternal (lingkungan), seperti terciptanya suasana
persaudaraan, kepedulian sosiaL dan sebagainya.
Benefit, Islam memandang bahwa tujuan suatu amal
perbuatan tidak hanya berorientasi pada qimah madiyah. Masih ada tiga
orientasi lainnya, yakni qimah-insaniyah, qimah khuluqiyah, dan qimah
ruhiyah. Qimah insaniyah berarti pengelola berusaha memberikan manfaat yang
bersifat kemanusiaan melalui kesempataan kerja, bantuan sosial (sedekah), dan
bantuan lainnya. Qiyah khuluqiyah, mengandung pengertian bahwa
nilai-nilai akhlak mulia menjadi suatu kemestian yang harus muncul dalam setiap
aktivitas bisnis sehingga tercipta hubungan persaudaraan yang Islami, bukan
sekedar hubungan fungsional atau profesional. Sementara qimah ruhiyyah berarti
aktivitas dijadikan sebagai media untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Pertumbuhan, jika profit materi dan profit non
materi telah diraih, perusahaan harus berupaya menjaga pertumbuhan agar selalu
meningkat. Upaya peningkatan ini juga harus selalu dalam koridor syariah, bukan
menghalalkan segala cara. Keberlangsungan, target yang telah dicapai dengan
pertumbuhan setiap tahunnya harus dijaga keberlangsungannya agar perusahaan
dapat eksis dalam kurun waktu yang lama.
Keberkahan, semua tujuan yang telah tercapai tidak
akan berarti apa-apa jika tidak ada keberkahan di dalamnya. Maka bisnis Islam
menempatkan berkah sebagai tujuan inti, karena ia merupakan bentuk dari
diterimanya segala aktivitas manusia. Keberkahan ini menjadi bukti bahwa bisnis
yang dilakukan oleh pengusaha muslim telah mendapat ridha dari Allah Swt., dan
bernilai ibadah.
Islam sangat mengajurkan untuk berbuat adil dalam
berbisnis, dan melarang berbuat curang atau berlaku dzalim. Rasulullah SAW
diutus Allah SWT untuk membangun keadilan. Kecelakaan besar bagi
orang yang berbuat curang, yaitu orang-orang yang apabila menerima takaran dari
orang lain meminta untuk dipenuhi, sementara kalau menakar atau menimbang untuk
orang selalu dikurangi. Kecurangan dalam berbisnis pertanda kehancuran bisnis
tersebut, karena kunci keberhasilan bisnis adalah kepercayaan. Al Quran
memerintahkan kepada kaum muslimin untuk menimbang dan mengukur dengan cara
yang benar dan jangan sampai melakukan kecurangan dalam bentuk pengurangan
takaran dan timbangan. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT, sebagai berikut
:
“Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi
orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) Karena Allah, menjadi saksi
dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum,
mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. berlaku adillah, Karena adil itu lebih
dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha
mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Maidah : 8)
1.4.Keadilan dalam Bisnis Menurut Islam
Secara umum Islam menawarkan nilai-nilai dasar atau
prinsip-prinsip umum yang penerapannya dalam bisnis disesuaikan dengan
perkembangan zaman dan mempertimbangkan dimensi ruang dan waktu. Islam sangat
mengajurkan untuk berbuat adil dalam berbisnis, dan melarang berbuat curang
atau berlaku dzalim. Kecurangan dalam berbisnis merupakan pertanda bagi
kehancuran bisnis tersebut, karena kunci keberhasilan bisnis adalah
kepercayaan.
Al-Qur’an memerintahkan kepada kaum muslimin untuk
menimbang dan mengukur dengan cara yang benar dan jangan sampai melakukan
kecurangan dalam bentuk pengurangan takaran dan timbangan.
وَأَوْفُوا
الْكَيْلَ إِذَا كِلْتُمْ وَزِنُوا بِالْقِسْطَاسِ الْمُسْتَقِيمِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ
تَأْوِيلا
“Dan sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar, dan timbanglah dengan
neraca yang benar. Itulah yang lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”. (Q.S.
al-Isra’: 35)
Dalam ayat lain yakni Q.S. al-Muthaffifin: 1-3
وَيْلٌ
لِلْمُطَفِّفِينَ
الَّذِينَ إِذَا اكْتَالُوا عَلَى النَّاسِ يَسْتَوْفُونَ
وَإِذَا كَالُوهُمْ أَوْ وَزَنُوهُمْ يُخْسِرُونَ
“Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang (dalam menakar dan menimbang),
yaitu orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta
dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka
mengurangi”
Dari ayat di atas jelas bahwa berbuat curang dalam
berbisnis sangat dibenci oleh Allah, maka mereka termasuk orang-orang yang
celaka. Kata ini menggambarkan kesedihan, kecelakaan dan kenistaan. Berbisnis
dengan cara yang curang menunjukkan suatu tindakan yang nista, dan hal ini
menghilangkan nilai kemartabatan manusia yang luhur dan mulia. Dalam kenyataan
hidup, orang yang semula dihormati dan dianggap sukses dalam berdagang,
kemudian ia terpuruk dalam kehidupannya, karena dalam menjalankan bisnisnya
penuh dengan kecurangan, ketidakadilan dan mendzalimi orang lain.[1]
1.5.Prinsip-prinsip Keadilan dalam Perspektif Bisnis Islam
1.
Berbasis Tauhid
Tauhid
menjadi fondasi utama ekonomi Islam, mempunyai hubungan kuat dengan konsep
keadilan sosial ekonomi dan persaudaraan. Ekonomi Tauhid yang mengajarkan bahwa
Allah sebagai pemilik mutlak dan manusia hanyalah sebagai pemegang amanah,
mempunyai konsekuensi, bahwa di dalam harta yang dimiliki setiap individu
terdapat hak-hak orang lain yang harus dikeluarkan sesuai dengan perintah
Allah, berupa zakat, infaq dan sedekah dan cara-cara lain guna melaksanakan
pendistribusian pendapatan yang sesuai dengan konsep persaudaraan umat manusia.
Sistem
keuangan dan perbankan serta kebijakan moneter, misalnya, dirancang semuanya
secara organis dan terkait satu sama lain untuk memberikan sumbangan yang
positif bagi pengurangan ketidak-adilan dalam ekonomi dalam bentuk pengucuran
pembiayaan (kredit) bagi masyarakat dan memberikan pinjaman lunak bagi
masyarakat ekonomi lemah melalui produk qardhul hasan.[2]
2.
Distribusi Kesejahteraan yang Merata (Justified
Distribution of Welfare)
Selanjutnya,
dalam rangka mewujudkan cita-cita keadilan sosial ekonomi, Islam secara tegas
mengecam konsentrasi asset kekayaan pada sekelompok tertentu dan menawarkan
konsep zakat, infaq, sedekah, waqaf dan institusi lainnya, seperti pajak,
jizyah, dharibah, dan sebagai
Quran
dengan tegas mengatakan, “Supaya harta itu tidak beredar di kalangan orang
kaya saja di antara kamu” (QS. 59:7), “Di antara harta mereka terdapat
hak fakir miskin, baik peminta-minta maupun yang orang miskin malu
meminta-minta” (QS. 70:24).
Berdasarkan
prinsip ini, maka konsep pertumbuhan ekonomi dalam Islam berbeda dengan konsep
pertumbuhan ekonomi kepitalisme yang selalu menggunakan indikator PDB (Produk
Dosmetik Bruto) dan perkapita. Dalam Islam, pertumbuhan harus seiring dengan
pemerataan. Tujuan kegiatan ekonomi, bukanlah meningkatkan pertumbuhan
sebagaimana dalam konsep ekonomi kapitalisme. Tujuan ekonomi Islam lebih
memprioritaskan pengentasan kemiskinan dan pengurangan pengangguran. Karena itu, Islam
menekankan keseimbangan antara petumbuhan dan pemerataan. Pertumbuhan bukan menjadi
tujuan utama, kecuali dibarengi dengan pemerataan. Dalam konsep Islam,
pertumbuhan dan pemerataan merupakan dua sisi dari sebuah entitas yang tak
terpisahkan, karena itu keduanya tak boleh dipisahkan.
Berdasarkan
prinsip ini, maka paradigma tricle down effect, yang dikembangkan
kapitalisme dan pernah diterapkan di Indonesia selama rezim orde baru,
bertentangan dengan konsep keadilan ekonomi menurut Islam. Selanjutnya, sistem
ekonomi kapitalis dicirikan oleh menonjolnya peran perusahaan swasta (private
ownership) dengan motivasi mencari keuntungan maksimum, harga pasar akan
mengatur alokasi sumberdaya, dan efisiensi. Namun sistem ini selalu gagal dalam
membuat pertumbuhan dan pemerataan berjalan dengan seiring.[3]
Sistem
ekonomi kapitalis telah menggoyahkan fondasi moral manusia, karena sistem ini
telah menghasilkan manusia yang tamak, boros dan angkuh. Sistem kapitalis juga
telah melahirkan sejumlah bankir hebat, beberapa industriawan yang kaya raya,
sejumlah pengusaha yang sukses. Namun di pihak lain, telah muncul banyak
konsumen yang tidak mampu memenuhi kebutuhan minimumnya. Kesenjangan terjadi
secara tajam. Perusahaan-perusahaan yang lemah akan tersingkir dan tersungkur.
Perlu
ditegaskan, bahwa melekatnya hak orang lain pada harta seseorang bukanlah dimaksudkan untuk mematahkan
semangat karya pada setiap individu atau menimbulkan rasa malas bagi sebagian
orang. Juga tidak di maksudkan untuk menciptakan kerataan pemilikan
kekayaan secara kaku. Dalam perspektif ekonomi Islam, proporsi pemerataan yang
betul-betul sama rata, sebagaimana dalam sosialisme, bukanlah keadilan, malah
justru dipandang sebagai ketidakadilan. Sebab Islam menghargai prestasi, etos
kerja dan kemampuan seseorang dibanding orang yang malas.
Dasar
dari sikap yang koperatif ini tidak terlepas dari prinsip Islam yang menilai
perbedaan pendapatan sebagai sebuah sunnatullah. Landasannya,
antara lain bahwa etos kerja dan kemampuan seseorang harus dihargai dibanding
seorang pemalas atau yang tidak mampu berusaha. Bentuk penghargaannya adalah
sikap Islam yang memperkenankan pendapatan seseorang berbeda dengan orang lain,
karena usaha dan ikhtiarnya. Firman Allah SWT dalam surat an-Nahl :71 yang berbunyi:
ª!$#ur @Òsù ö/ä3Ò÷èt/ 4n?tã <Ù÷èt/ Îû É-øÌh?9$# 4
Artinya: “Dan
Allah melebihkan rezeki sebagian kamu atas sebagian lain”. (QS. An-Nahl :71).
Namun,
orang yang diberi kelebihan rezeki, harus mengeluarkan sebagian hartanya untuk
kelompok masyarakat yang tidak mampu (dhu’afa). Sehingga seluruh
masyarakat terlepas dari kemisikinan absolut. Konsep keadilan sosial ekonomi
yang diajarkan Islam menginginkan adanya pemerataan pendapatan secara
proporsional. Dalam tataran ini, dapat pula dikatakan bahwa ekonomi Islam
adalah ekonomi yang dilandaskan pada kebersamaan. Karena itu tidak aneh, bila
anggapan yang menyatakan bahwa prinsip keadilan social ekonomi Islam
mempunyai kemiripan dengan sistem sosialisme. Bahkan pernah ada pendapat yang
menyatakan bahwa sistem sosialisme itu jika ditambahkan dan dimasukkan
unsur-unsur Islam ke dalamnya, maka ia menjadi islami.
Dengan
demikian, pendapat dan pandangan yang menyatakan kemiripan sistem
keadilan sosial Islam dengan sosialisme tidak sepenuhnya benar, malah lebih
banyak keliruannya. Prinsip ekonomi sosialisme, yang menolak kepemilikan
individu dan menginginkan pemerataan pendapatan, jelas berbeda dengan prinsip
ekonomi Islam. Sosialisme sama sekali tidak mengakui hak milik individu. Reaksi
masxisme dibungkus secara politis revolusioner dalam paham komunis yang intinya
mengajarkan bahwa seluruh unit ekonomi dikuasakan kepada negara yang selanjutnya
didistribusikan kepada seluruh masyarakat secara merata. Hal ini didasarkan
semangat pertentangan terhadap pemilikan individu.
Sedangkan
dalam ekonomi Islam, penegakkan keadilan sosial ekonomi dilandasi oleh rasa
persaudaraan (ukhuwah), saling mencintai (mahabbah), bahu membahu (takaful)
dan saling tolong menolong (ta’awun), baik antara si kaya dan si
miskin maupun antara penguasa dan rakyat.[4]
3.
Prinsip Jaminan Sosial (Social Security)
Dalam
sistem ekonomi Islam,
keadilan sosial dipandang tidak akan mungkin tercapai tanpa adanya prinsip ini.
Prinsip Jaminan sosial atau at Takaful ijtima’i yang dimaksud dalam hal
ini adalah keadaan dimana setiap orang dalam masyarakat saling menjamin dan
menanggung beban kemaslahatan sesama. Prinsip ini banyak disebutkan dalam al
Qur’an maupun Hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, diantaranya, “Tidakkah
Kamu melihat orang yang mendustakan agama? Mereka adalah orang-orang yang
membiarkan anak yatim dan mereka juga tidak member makan orang-orang miskin”
(QS. Al-Ma’un [107]:1-3). Rasulullah juga bersabda, “perumpamaan orang-orang
beriman itu dalam kasih sayang, sebagaimana batang tubuh, jika salah satu
anggota tubuh itu sakit, maka anggota tubuh yang lain juga merasakan demam”
(HR. Bukhori dan Muslim).
Namun
begitu, Menurut Chapra mengutip pendapat Imam Ghazali, sekalipun ilmu ekonomi
Islam tetap berkonsentrasi pada aspek alokasi dan distribusi sumber-sumber
daya, seperti halnya pada ilmu ekonomi konvensional, namun tujuan utama ekonomi
Islam adalah harus tetap merealisasikan maqashid, sebab tujuan
utama syari’ah adalah mendorong kesejahteraan manusia, yang terletak dalam
perlindungan terhadap agama mereka (diin), diri (nafs), akal (‘aql),
keturunan (nasl), harta benda (maal). Apa saja yang menjamin
terlindungnya lima perkara tersebut berarti melindungi kepentingan dan
kemaslahatan umum. Tentang kaitan antara hukum-hukum syariah dengan
kemaslahatan manusia banyak dibahas oleh para ulama diantaranya Imam Al-Izz bin
Abdul Salam, dalam kitab beliau Qawaid al-Ahkam fi Masalih al-Anam.[5]
[1]
http://gadingmahendradata.wordpress.com/2009/11/27/keadilan-dalam-Islam-dan-Bisnis/(Sabtu,
12 April 2014 pada jam 22.00 WIB.
[2]
http://ibnuanwarudin.blogspot.com/2010/11/konsep-keadilan-dalam-Islam.html(Minggu,
13 April 2014 pada jam 11.13 WIB.
[3]
Sayyid Qutb, Keadilan Sosial dalam Islam, Alih bahasa Afif Muhammad,
Cet.II,(Bandung: Pustaka, 1994), hlm.40.
[4]
Muhammad, Ekonomi Syari’ah, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2008), Cet. 1,
hlm.148.
[5]
http://puzzleminds.com/ekonomi-Islam-dan-keadilan-sosial.html(Minggu,
13 April 2014 pada jam 11.13 WIB.
Harrah's Cherokee Casino & Hotel - MapyRO
BalasHapusCasino near Harrah's Cherokee 논산 출장안마 Casino in Cherokee, NC. Find reviews, hours, 오산 출장안마 directions, coupons, and 울산광역 출장안마 more for Harrah's Cherokee Casino & 통영 출장안마 Hotel in Cherokee, 영주 출장안마